News Update :
Hot News »
Bagikan kepada teman!

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Penulis : Unknown on Sabtu, 30 Mei 2015 | 23.03

Sabtu, 30 Mei 2015

PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Civic Education
(Untuk Lingkungan Sendiri)
DIKDIK BAEHAQI ARIF
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2011
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| i
Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, penulisan Diktat Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education) ini dapat diselesaikan. Diktat yang hadir di hadapan sidang pembaca ini
diniati untuk memenuhi bahan bacaan pada Perkuliahan Pendidikan
Kewarganegaraan yang penulis sampaikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi dirancang
untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan
kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara serta pendidikan
pendahuluan bela negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat
diandalkan oleh bangsa dan negara. Mata kuliah ini, sebagaimana termuat dalam
Keputusan Dirjen Dikti tahun 2006 memiliki tujuan: 1) Dapat memahami dan
mampu melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta
ikhlas sebagai warga negara terdidik dalam kehidupannya selaku warga negara
republik Indonesia yang bertanggung jawab; 2) Menguasai pengetahuan dan
pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang hendak diatasi dengan penerapan pemikiran yang berlandaskan
Pancasila, wawasan nusantara dan ketahanan nasional secara kritis dan bertanggung
jawab; dan 3) Mempupuk sikap dan perilaku yang sesuai denan nilai-nilai kejuangan
serta patriotisme yang cinta tanah air, rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
Penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan diktat ini.
Semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang terbaik. Amiin. Secara khusus
untuk istri tercinta Astri Fatimah dan anak tersayang Rakan Azka Baqi Baehaqi
(Rakan) yang bibirnya tiada kering berdo‟a untuk kebaikan keluarga, semoga Allah
senantiasa menjadikan keduanya sumber kesejukan bagi penulis.
Yogyakarta, 21 September 2011
Penulis
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| ii
Daftar Isi
Pengantar – i
Daftar isi – ii
BAB 1 PENDAHULUAN – 1
Tentang Pendidikan Kewarganegaraan – 1
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Nasional – 2
Tujuan dan Materi Pendidikan Kewarganegaraan di Peguruan Tinggi – 3
BAB 2 IDENTITAS NASIONAL – 5
Pengertian Identitas Nasional – 5
Faktor-faktor Pembentuk Identitas Nasional – 6
Identitas Nasional Indonesia – 7
BAB 3 HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA – 9
Pengertian Warga Negara dan Kewarganegaraan – 9
Asas-Asas Kewarganegaraan – 12
Persoalan Kewarganegaraan – 13
Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan – 16
Hak dan Kewajiban Warga Negara – 18
BAB 4 DEMOKRASI – 22
Pengertian Demokrasi – 22
Nilai-nilai Demokrasi – 24
Landasan Pengembangan Demokrasi – 26
BAB 5 NEGARA DAN KONSTITUSI – 27
Pengertian Negara – 27
Unsur-unsur Negara – 28
Sifat-sifat Negara – 28
Fungsi dan Tujuan Negara – 29
Konstitusi – 30
UUD 1945: Konstitusi Indonesia dan Perubahannya – 33
BAB 6 HAK ASASI MANUSIA – 43
Konsep Dasar Hak Asasi Manusia – 43
Kategori Hak Asasi Manusia – 45
Prinsip-prinsip Pokok Hak Asasi Manusia – 47
Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia – 48
Gagasan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 – 50
Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Pasca Perubahan – 51
BAB 7 SISTEM PEMERINTAHAN DAN OTONOMI DAERAH – 54
Karakteristik Sistem Pemerintahan – 54
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| iii
Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial – 54
Otonomi Daerah – 57
Pembagian Urusan Pemerintahan – 58
Hak dan Kewajiban Daerah dalam Otonomi Daerah – 59
BAB 8 WAWASAN NUSANTARA – 61
Geopolitik Indonesia – 61
Sejarah Lahirnya Konsep Geopolitik di Dunia – 61
Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik Indonesia – 63
BAB 9 KETAHANAN NASIONAL – 70
Geostrategi Indonesia – 70
Ketahanan Nasional sebagai Perwujudan Geostrategi Indonesia – 71
DAFTAR PUSTAKA – 73
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 1
BAB 1
Pendahuluan
Tentang Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan adalah terjemahan dari istilah asing civic education atau
citizenship education. John C. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai “...the
foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their
communities in their adult lives” (Cogan, 1999:4), atau suatu mata pelajaran dasar di
sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah
dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau
education for citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki
pengertian yang lebih luas yang mencakup “...both these in-school experiences as well as outof
school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization,
community organizations, the media, etc which help to shape the totality of the citizen”. Artinya,
citizenship education merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar
di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam
organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media.
Di sisi lain, David Kerr mengemukakan bahwa Citizenship or Civics Education is
construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as
citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching and learning) in that
preparatory process. (Kerr, 1999:2) atau PKn dirumuskan secara luas mencakup proses
penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai
warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya
persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam proses penyiapan warga negara tersebut.
Dari pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa istilah citizenship education
lebih luas cakupan pengertiannya daripada civic education. Dengan cakupan yang luas
ini maka citizenship education meliputi di dalamnya pendidikan kewarganegaraan dalam
arti khusus (civic education). Citizenship education sebagai proses pendidikan dalam rangka
menyiapkan warga negara muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai
warga negara, sedang civic education adalah citizenship education yang dilakukan melalui
persekolahan.
Untuk konteks di Indonesia, citizenship education atau civic education dalam arti
luas oleh beberapa pakar diterjemahkan dengan istilah pendidikan kewarganegaraan
(Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau pendidikan kewargaan (Azra, 2002). Secara
terminologis, Pendidikan Kewarganegaraan diartikan sebagai pendidikan politik yang
yang fokus materinya peranan warga negara dalam kehidupan bernegara yang
kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina peranan tersebut sesuai
dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi warga negara yang dapat
diandalkan oleh bangsa dan negara (Cholisin, 2000 dalam Samsuri, 2011).
Secara paradigmatik Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tiga komponen,
yakni (1) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (2) program kurikuler
Pendidikan Kewarganegaraan; dan (3) gerakan sosial-kultural kewarganegaraan
(Winataputra, 2001). Ketiga komponen tersebut secara koheren bertolak dari esensi
dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan (civic
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 2
knowledge), nilai, sikap dan watak kewarganegaraan (civic disposition), dan keterampilan
kewarganegaraan (civic skill).
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Nasional
Kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib
memuat Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk membentuk peserta
didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai
dengan Pancasila dan UUD 1945. Sebagaimana dapat kita temui dalam Pasal 37 ayat
(1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan
bahwa “kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a) Pendidikan
Agama, b) Pendidikan Kewarganegaraan, c) Bahasa…” dan “kurikulum pendidikan
tinggi wajib memuat: a) Pendidikan Agama; b) Pendidikan Kewarganegaraan; c)
Bahasa”.
Adanya ketentuan tentang Pendidikan Kewarganegaraan dalam UU tentang
Sistem Pendidikan Nasional sebagai mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi menunjukkan bahwa mata pelajaran ini menempati kedudukan
yang strategis dalam mencapai tujuan pendidikan nasional di negara ini, yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 ayat 2 UU
Sistem Pendidikan Nasional).
Pedidikan Kewarganegaraan di Persekolahan
Secara historis, PKn persekolahan mengalami fluktuasi terutama dalam
penamaan dan konten materi. Pertama kali muncul dengan nama Kewarganegaraan
(1957), Civics (1961), Pendidikan Kewargaan Negara (1968), Pendidikan Moral
Pancasila (1975), Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994),
Kewarganegaraan (Uji Coba Kurikulum 2004) dan terakhir dengan nama Pendidikan
Kewarganegaraan (2006).
Sesuai Standar Isi Pendidikan Kewarganegaraan (Permendiknas No. 22
Tahun 2006), mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang
cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Adapun tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan:
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta antikorupsi
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 3
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Sebagai program kurikuler, mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di
perguruan tinggi adalah bentuk perubahan dari Pendidikan Kewiraan yang terlalu
condong atau lebih berorientasi pada aspek bela negara dalam konteks memenuhi
kebutuhan pertahanan. Karena itu, pengembangan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai
sosial kemasyarakatan, penyadaran tentang ketaatan pada hukum, serta disiplin sosial
bukanlah tujuan pendidikan kewiraan. Metode pengajaran yang diterapkan lebih
bersifat indoktrinatif yang hanya menyentuh aspek kognitif, sedangkan aspek sikap
dan perilaku berlum tersentuh (Cipto, et all, 2002:ix).
Jauh sebelum diselenggarakannya PKn, pada jenjang perguruan tinggi, pernah
ada mata kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD 1945 (sekitar tahun
1960-an), Filsafat Pancasila (tahun 1970-an sampai sekarang), Pendidikan
Pancasila (1980-an sampai sekarang), Pendidikan Kewiraan (1989/1990-an) dan
Pendidikan Kewarganegaraan (2000 sampai sekarang) (Tukiran, dkk. 2009:12).
Pendidikan Kewiraan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
dalam mengembangkan kecintaan, kesetiaan, keberanian untuk berkorban membela
bangsa dan tanah air Indonesia (Lemhanas, 1994:4). Pada tahunn 2000, substansi
mata kuliah Pendidikan Kewiraan sebagai pendidikan pendahuluan bela negara
direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi PKn berdasarkan Keputusan Dirjen
Dikti No.267/Dikti/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum. Substansi mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat
Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No.
43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Menurut Tukiran, dkk (2009:12) kekurangberhasilan Pendidikan Kewiraan
paling tidak disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, secara substantif, Pendidikan
Kewiraan tidak secara terencana dan terarah mencakup materi dan pembahasan yang
lebih terfokus pada pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Materi-materi yang
ada umumnya terpusat pada pembahasan yang idealistik, legalistik, dan normatif.
Kedua, kalaupun materi-materi yang ada pada dasarnya potensial bagi pendidikan
demokrasi dan PKn, potensi itu tidak berkembang karena pendekatan dan
pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif.
Ketiga, ketiga subjek itu lebih bersifat teoretis daripada praktis.
Tujuan dan Materi Pendidikan Kewarganegaraan di Peguruan
Tinggi
Menurut Pasal 3 Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu
Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, PKn
dirancang untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan
kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara serta pendidikan
pendahuluan bela negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat
diandalkan oleh bangsa dan negara. Sedangkan dalam Pasal 4 Keputusan Dirjen Dikti
tersebut menyebutkan bahwa tujuan PKn di perguruan tinggi adalah sebagai berikut:
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 4
1. Dapat memahami dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban secara
santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warga negara terdidik dalam
kehidupannya selaku warga negara republik Indonesia yang bertanggung
jawab.
2. Menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah dasar
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi
dengan penerapan pemikiran yang berlandaskan Pancasila, wawasan
nusantara dan ketahanan nasional secara kritis dan bertanggung jawab.
3. Mempupuk sikap dan perilaku yang sesuai denan nilai-nilai kejuangan serta
patriotisme yang cinta tanah air, rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006
obyek pembahasan Pendidikan Kewarganegaraan ialah: Filsafat Pencasila, Identitas
Nasional, Negara dan Konstitusi, Demokrasi Indonesia, HAM dan Rule of Law, Hak
dan Kewajiban Warga Negara, Geopolitik Indonesia, dan Geostrategi Indonesia.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 5
BAB 2
Identitas Nasional
Pengertian Identitas Nasional
Identitas nasional pada hakikatnya adalah manisfestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam aspek kehidupan satu bangsa (nation) dengan ciri-ciri khas,
dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam
kehidupannya (Kaelan, 2007). Identitas berasal dari kata identity yang berarti ciri-ciri,
tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang
membedakannya dengan yang lain. Dalam terminologi antropologi, identitas adalah
sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri,
golongan, kelompok, komunitas atau negara sendiri.
Kata “nasional” dalam identitas nasional merupakan identitas yang melekat
pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan,
baik fisik seperti budaya, agama, bahasa maupun non fisik seperti keinginan, cita-cita
dan tujuan. Istilah identitas nasional atau identitas bangsa melahirkan tindakan
kelompok (collective action yang diberi atribut nasional). Nilai-nilai budaya yang berada
dalam sebagian besar masyarakat dalam suatu negara dan tercermin di dalam identitas
nasional, bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan
dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka yang cenderung terus menerus
berkembang karena hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat
pendukungnya. Implikasinya adalah bahwa identitas nasional merupakan sesuatu yang
terbuka untuk diberi makna baru agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi
aktual yang berkembang dalam masyarakat.
Hal itu terbukti di dalam sejarah kelahiran faham kebangsaan di Indonesia
yang berawal dari berbagai pergerakan yang berwawasan parokhial seperti Boedi
Oetomo (1908) yang berbasis subkultur Jawa, Sarekat Dagang Islam (1911) yaitu
entrepenuer Islam yang bersifat ekstrovet dan politis dan sebagainya yang melahirkan
pergerakan yang inklusif yaitu pergerakan nasional yang berjati diri “Indonesianess”
dengan mengaktualisasikan tekad politiknya dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928. Dari keanekaragaman subkultur tadi terkristalisasi suatu core culture yang
kemudian menjadi basis eksistensi nation-state Indonesia, yaitu nasionalisme.
Identitas bangsa (national identity) sebagai suatu kesatuan ini biasanya dikaitkan
dengan nilai keterikatan dengan tanah air (ibu pertiwi), yang terwujud identitas atau
jati diri bangsa dan biasanya menampilkan karakteristik tertentu yang berbeda dengan
bangsa-bangsa lain, yang pada umumnya dikenal dengan istilah kebangsaan atau
nasionalisme. Rakyat dalam konteks kebangsaan tidak mengacu sekadar kepada
mereka yang berada pada status sosial yang rendah akan tetapi mencakup seluruh
struktur sosial yang ada. Semua terikat untuk berpikir dan merasa bahwa mereka
adalah satu. Bahkan ketika berbicara tentang bangsa, wawasan kita tidak terbatas pada
realitas yang dihadapi pada suatu kondisi tentang suatu komunitas yang hidup saat ini,
melainkan juga mencakup mereka yang telah meninggal dan yang belum lahir.
Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai
bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang
aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas,
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 6
misalnya dalam Pembukaan beserta UUD 1945, sistem pemerintahan yang
diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi serta mitos, ideologi, dan lain sebagainya
yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan baik dalam tataran nasional
maupun internasional dan lain sebagainya.
Faktor-faktor Pembentuk Identitas Nasional
Proses pembentukan bangsa negara membutuhkan identitas-identitas untuk
menyatukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diperkirakan
menjadi identitas bersama suatu bangsa, meliputi primordial, sakral, tokoh, Bhinneka
Tunggal Ika, sejarah, perkembangan ekonomi, dan kelembagaan (Ramlan Surbakti,
1999).
Pertama, faktor-faktor primordial ini meliputi: kekerabatan (darah dan
keluarga), kesamaan suku bangsa, daerah asal (home land), bahasa dan adat istiadat.
Faktor primodial merupakan identitas yang khas untuk menyatukan masyarakat
Indonesia sehingga mereka dapat membentuk bangsa negara. Kedua, Faktor sakral
dapat berupa kesamaan agama yang dipeluk masyarakat atau ideologi doktriner yang
diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.Agama dan ideologi merupakan faktor
sakral yang dapat membentuk bangsa negara. Faktor sakral ikut menyumbang
terbentuknya satu nasionalitas baru. Negara Indonesia diikat oleh kesamaan ideologi
Pancasila.
Ketiga, tokoh. Kepemimpinan dari para tokoh yang disegani dan dihormati
oleh masyarakat dapat pula menjadi faktor yang menyatukan bangsa negara.
Pemimpin dibeberapa negara dianggap sebagai penyambung lidah rakyat, pemersatu
rakyat dan simbol pemersatu bangsa yang bersangkutan. Contohnya Sukarno di
Indonesia, Nelson Mandela di Afrika Selatan, Mahatma Gandhi di India, dan Tito di
Yugoslavia. Keempat, prinsip Bhineka Tunggal Ika pada dasarnya adalah kesediaan
warga bangsa bersatu dalam perbedaan (unity in deversity). Yang disebut bersatu dalam
perbedaan adalah kesediaan warga bangsa untuk setia pada lembaga yang disebut
negara dan pemerintahnya tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa,
adat, ras, agamanya. Sesungguhnya warga bangsa memiliki kesetiaan ganda
(multiloyalities). Warga setia pada identitas primordialnya dan warga juga memiliki
kesetiaan pada pemerintah dan negara, namun mereka menunjukkan kesetiaan yang
lebih besar pada kebersamaan yang terwujud dalam bangsa negara dibawah satu
pemerintah yang sah. Mereka sepakat untuk hidup bersama di bawah satu bangsa
meskipun berbeda latar belakang. Oleh karena itu, setiap warganegara perlu memiliki
kesadaran akan arti pentingnya penghargaan terhadap suatu identitas bersama yang
tujuannya adalah menegakkan Bhineka Tunggal Ika atau kesatuan dalam perbedaan
(unity in deversity) suatu solidaritas yang didasarkan pada kesantunan (civility).
Kelima, sejarah. Persepsi yang sama diantara warga masyarakat tentang sejarah
mereka dapat menyatukan diri dalam satu bangsa. Persepsi yang sama tentang
pengalaman masa lalu, seperti sama-sama menderita karena penjajahan, tidak hanya
melahirkan solidaritas tetapi juga melahirkan tekad dan tujuan yang sama antar
anggota masyarakat itu. Keenam, Perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan
melahirkan spesialisasi pekerjaan profesi sesuai dengan aneka kebutuhan masyarakat.
Semakin tinggi mutu dan variasi kebutuhan masyarakat, semakin saling tergantung
diantara jenis pekerjaan. Setiap orang akan saling bergantung dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Semakin kuat saling ketergantungan anggota masyarakat karena
perkembangan ekonomi, akan semakin besar solidaritas dan persatuan dalam
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 7
masyarakat. Solidaritas yang terjadi karena perkembangan ekonomi oleh Emile
Dirkhem disebut Solidaritas Organis. Faktor ini berlaku di masyarkat industri maju
seperti Amerika Utara dan Eropa Barat.
Terakhir, faktor lain yang berperan dalam mempersatukan bangsa berupa
lembaga-lembaga pemerintahan dan politik. Lembaga-lembaga itu seperti birokrasi,
angkatan bersenjata, pengadilan, dan partai politik. Lembaga-lembaga itu melayani
dan mempertemukan warga tanpa membeda-bedakan asal usul dan golongannya
dalam masyarakat. Kerja dan perilaku lembaga politik dapat mempersatukan orang
sebagai satu bangsa.
Identitas Nasional Indonesia
Identitas nasional merujuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional. Identitas
nasional bersifat buatan dan sekunder. Bersifat buatan oleh karena identitas nasional
itu dibuat, dibentuk dan disepakati oleh warga bangsa sebagai identitasnya setelah
mereka bernegara. Bersifat sekunder oleh karena identitas nasional lahir belakangan
dibandingkan dengan identitas kesukubangsaan yang memang telah dimiliki warga
bangsa itu secara askriptif. Jauh sebelum mereka memiliki identitas nasional itu,
warga bangsa telah memiliki identitas primer yaitu identitas kesukubangsaan.
Proses pembentukan identitas nasional umumnya membutuhkan waktu
perjuangan panjang di antara warga bangsa-negara yang bersangkutan. Hal ini
disebabkan identitas nasional adalah hasil kesepakatan masyarakat bangsa itu. Dapat
terjadi sekelompok warga bangsa tidak setuju degan identitas nasional yang hendak
diajukan oleh kelompok bangsa lainnya. Setiap kelompok bangsa di dalam negara,
umumnya mengingingkan identitasnya dijadikan atau diangkat sebagai identitas
nasional yang tentu saja belum tentu diterima oleh kelompok bangsa lain. Inilah yang
menyebabkan sebuah negara-bangsa yang baru merdeka mengalami pertikaian intern
yang berlarut-larut demi untuk saling mengangkat identitas kesukubangsaan menjadi
identitas nasional.
Setelah bangsa Indonesia bernegara, mulai dibentuk dan disepakati apa-apa
yang dapat menjadi identitas nasional Indonesia. Bisa dikatakan bangsa Indonesia
relatif berhasil dalam membentuk identitas nasionalnya kecuali pada saat proses
pembentukan ideologi Pancasila sebagai identitas nasional yang membutuhkan
perjuangan dan pengorbanan di antara warga bangsa.
Beberapa bentuk identitas nasional Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa persatuan. Bahasa
Indonesia berawal dari rumpun bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai
bahasa pergaulan yang kemudian diangkat sebagai bahasa persatuan pada
tanggal 28 Oktober 1928. Bangsa Indonesia sepakat bahwa bahasa Indonesia
merupakan bahasa nasional sekaligus sebagai identitas nasional Indonesia.
2. Sang merah putih sebagai bendera negara. Warna merah berarti berani dan
putih berarti suci. Lambang merah putih sudah dikenal pada masa kerajaan di
Indonesia yang kemudian diangkat sebagai bendera negara. Bendera merah
putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945, namun telah
ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda.
3. Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Lagu Indonesia Raya
pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam Kongres
Pemuda II.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 8
4. Burung garuda yang merupakan burung khas Indonesia dijadikan sebagai
lambang negara.
5. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang berarti berbeda-beda
tetapi satu jua. Menunjukkan kenyataan bahwa bangsa kita heterogen, namun
tetap berkeinginan untuk menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
6. Pancasila sebagai dasar falsafat negara yang berisi lima dasar yang dijadikan
sebagai dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia. Pancasila merupakan
identitas nasional yang berkedudukan sebagai dasar negara dan pandangan
hidup (ideologi) nasional Indonesia.
7. UUD 1945 sebagai konstitusi (hukum dasar) negara. UUD 1945 merupakan
hukum dasar tertulis yang menduduki tingkatan tertinggi dalam tata urutan
peraturan perundangan dan dijadikan sebagai pedoman penyelenggaraan
bernegara.
8. Bentuk negara adalah Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat. Bentuk negara adalah kesatuan, sedang bentuk pemerintahan adalah
republik. Sistem politik yang digunakan adalah sistem demokrasi (kedaulatan
rakyat). Saat ini identitas negara kesatuan disepakati untuk tidak dilakukan
perubahan.
9. Konsepsi wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia
mengenai diri dan lingkungan yang serba beragam dan memiliki nilai strategis
dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesatuan
wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
10. Kebudayaan sebagai puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Kebudayaan
daerah diterima sebagai kebudayaan nasional. Berbagai kebudayaan dari
kelompok-kelompok bangsa di Indonesia yang memiliki cita rasa tinggi, dapat
dinikmati dan diterima oleh masyarakat luas sebagai kebudayaan nasional.
Tumbuh dan disepakatinya beberapa identitas nasional Indonesia itu
sesungguhnya telah diawali dengan adanya kesadaran politik bangsa Indonesia
sebelum bernegara. Hal demikian sesuai dengan ciri dari pembentukan negara-negara
model mutakhir. Kesadaran politik itu adalah tumbuhnya semangat nasionalimse
(semangat kebangsaan) sebagai gerakan menentang penjajahan dan mewujudkan
negara Indonesia. Dengan demikian, nasionalisme yang tumbuh kuat dalam diri
bangsa Indonesia turut mempermudah terbentuknya identitas nasional Indonesia.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 9
BAB 3
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pengertian Warga Negara dan Kewarganegaraan
Istilah warga negara (bahasa Inggris: citizen atau bahasa Perancis: citoyen, citoyenne)
merujuk kepada bahasa Yunani Kuno polites atau Latin civis, yang didefinisikan sebagai
anggota dari polis (kota) Yunani Kuno atau res publica (perkumpulan orang-orang atau
masyarakat) Romawi bagi persekutuan orang-orang di Mediterania Kuno, yang
selanjutnya ditransmisikan kepada peradaban Eropa dan Barat (Pocock,1995:29).
Warga negara dapat berarti warga, anggota dari suatu negara. Ketika mempertanyakan
what is a citizen? Turner (1990) (Sapriya, 2006) menjelaskan bahwa “a citizen is a member
of a group living under certain laws” atau anggota dari sekelompok manusia yang hidup
atau tinggal di wilayah hukum negara tertentu. Dikatakan lebih lanjut, bahwa hukum
ini disusun dan diselenggarakan oleh orang-orang yang memerintah, mengatur
kelompok masyarakat tersebut. Mereka yang ikut serta mengatur kelompok
masyarakat bersama-sama dikenal sebagai pemerintah (government). Oleh karena itu,
warga negara disimpulkan sebagai “a member of a group living under the rule of a
government”.
Mengutip terminologi Webster‟s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English
Language (1989:270), Banks (2004:24) menguraikan konsep warga negara “…as a native
or naturalized member of a state or nation who owes allegiance to its government and is entitled to its
protection”, atau anggota asli atau hasil naturalisasi dari negara atau bangsa yang
memiliki kesetiaan terhadap pemerintahan dan berhak atas perlindungan
pemerintahan, sedangkan citizenship as the “state of being vested with the rights, privileges, and
duties of a citizen”, atau kewarganegaraan adalah status pribadi yang dimiliki secara
tetap dengan hak, perlakuan khusus, dan tugas-tugas sebagai warga negara.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa kewarganegaraan adalah “posisi atau
status sebagai warga negara” (the position or status of being a citizen) (Simpson & Weiner,
1989:250) yang di dalamnya melekat seperangkat hak, kewajiban, dan identitas yang
menghubungkan warga negara dengan negara-bangsa (the set of rights, duties, and
identities linking citizens to the nation-state). (Koopmans et all., 2005:7; Banks, 2007:129).
Heywood (1994:155) mengartikan warga negara sebagai “…is a member of a
political community, which is defined by a set of rights and obligations atau anggota suatu
masyarakat politis (political community), yang digambarkan oleh seperangkat hak dan
kewajiban. Sedangkan kewarganegaraan menurut Heywood (1994:155) “… therefore
represents a relationship between the individual and the state, in which the two are bound together by
reciprocal rights and obligations” atau kewarganegaraan itu menghadirkan suatu hubungan
antara individu dan negara, dimana keduanya terikat bersama-sama oleh hak dan
kewajiban secara timbal balik. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Kymlicka
(2003:147) yang mengemukakan bahwa “the term „citizenship‟ typically refers to membership
in a political community, and hence designates a relationship between the individual and the state”
artinya bahwa kewarganegaraan merujuk kepada anggota dari komunitas politik, dan
karenanya menandakan hubungan antara individu dan negara.
Selanjutnya, Heywood (1994:156) mengemukakan bahwa kewarganegaraan
merupakan status hukum dan identitas (a legal status and an identity), karenanya
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 10
terkandung dalam pengertian itu dua dimensi, objektif dan subjektif. Secara objektif,
kewarganegaraan terkait dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diberikan
negara secara spesifik (specific rights and obligations which a state invests in its members) dan
dimensi subjektif berkaitan dengan kesetiaan rasa memiliki (a sense of loyalty and
belonging) terhadap negara.
Cogan (1998:13) memberikan atribut pokok kewarganegaraan dengan terlebih
dahulu membedakan konsep warga negara (citizen) dengan kewarganegaraan
(citizenship). Konsep “a citizen” diartikan sebagai “a constituent member of society” atau
anggota resmi suatu masyarakat. Sementara itu “citizenship” diartikan sebagai “a set of
characteristics of being a citizen”, atau seperangkat karakteristik sebagai seorang warga
negara.
Secara konseptual, citizenship memiliki lima atribut pokok, yakni:”…a sense of
identity; the enjoyment of certains rights; the fulfilment of corresponding obligations; a degree of
interest and involvement in public affairs; and an acceptance of basic societal values”
(Cogan,1998:2-3). Dengan kata lain seorang warga negara seyogyanya memiliki jati
diri; kebebasan untuk menikmati hak tertentu; pemenuhan kewajiban-kewajiban
terkait; tingkat minat dan keterlibatan dalam urusan publik; dan pemilikan nilai-nilai
dasar kemasyarakatan.
Dalam perkembangan negara modern, konsep kewarganegaraan lazimnya
didefinisikan sebagai sebuah hubungan antara individu dan masyarakat politik yang
dikenal sebagai negara, yang alami. Individu memberikan loyalitas kepada negara
guna mendapatkan proteksi darinya (Kalidjernih, 2007:51). Dengan demikian, warga
negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu dalam hubungannya
dengan negara. Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum
yang menyandang hak-hak sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara.
Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang wajib diakui (recognized) oleh negara
dan wajib dihormati (respected), dilindungi (protected), dan difasilitasi (facilitated), serta
dipenuhi (fulfilled) oleh negara. Sebaliknya, setia warga negara juga mempunyai hakhak
negara yang wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau
ditunaikan (complied) oleh setiap warga negara (Asshiddiqie, 2006:132).
Dalam konteks Indonesia, pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa
yang dimaksud warga negara Indonesia adalah adalah orang-orang bangsa Indonesia
asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara. Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal
kewarganegaraan Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Undang-undang No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk
Negara.
2. Undang-undang No. 6 Tahun 1947 tentang Perubahan atas Undang-undang
No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara.
3. Undang-undang No. 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk
Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia.
4. Undang-undang No. 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi
untuk Mengajukann Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara
Indonesia.
5. Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
6. Undang-undang No. 3 Tahun 1976 tentang Perubahan atas pasal 18 Undangundang
No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 11
7. Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
Menurut UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang
dimaksud warga negara Indonesia adalah sebagai berikut:
1. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain
sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara
Indonesia;
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga
Negara Indonesia;
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu warga negara asing; ketentuan ini berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara
asing dan ibu Warga Negara Indonesia; ketentuan ini berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
5. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum
negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak
tersebut;
6. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara
Indonesia;
7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia;
8. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara
asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya
dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan
belas) tahun atau belum kawin;
9. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir
tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
10. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia
selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
11. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya
tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
12. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang
ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara
tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak
yang bersangkutan; berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia
18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan
memilih salah satu kewarganegaraannya.
13. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 12
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Disamping itu, ditentukan pula bahwa yang menjadi warga negara Indonesia
adalah: 1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di Iuar perkawinan yang sah,
belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh
ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara
Indonesia; dan 2) anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun
diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan
pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia. (Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU
No. 12 Tahun 2006). Karena dua ketentuan di atas, maka akan berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, karena itu, maka setelah berusia 18 tahun atau sudah
kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Asas-Asas Kewarganegaraan
Dalam berbagai literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya tiga asas
kewarganegaraan, masing-masing adalah ius soli, ius sanguinis, dan asas campuran. Dari
ketiga asas itu, yang dianggap sebagai asas yang utama ialah asas ius soli dan ius
sanguinis (Asshiddiqie, 2006:132). Asas ius soli (asas kedaerahan) ialah bahwa
kewarganegaraan seseorang ditentukkan menurut tempat kelahirannya. Seseorang
dianggap berstatus warga negara dari Negara A, karena ia dilahirkan di Negara A
tersebut. Sedangkan asas ius sanguinis dapat disebut sebagai asas keturunan atau asas
darah. Menurut prinsip yang terkandung dalam asas kedua ini, kewarganegaraan
ditentukkan dari garis keturunan orang yang bersangkutan. Seseorang adalah warga
negara A, karena orang tuanya adalah warga negara A. Pada saat sekarang, dimana
hubungan antarnegara berkembang semakin mudah dan terbuka, dengan sarana
transportasi, perhubungan, dan komunikasi yang sudah sedemikian majunya, tidak
sulit bagi setiap orang untuk bepergian ke mana saja. Oleh karena itu, banyak terjadi
bahwa seseorang warga negara dari Negara A berdomisili di negara B. Kadangkadang
orang tersebut melahirkan anak di negara tempat dia berdomisili. Dalam
kasus demikian, jika yang diterapkan adalah asas ius soli, maka akibatnya anak tersebut
menjadi warga negara dari negara tempat domisilinya itu, dan dengan demikian
putuslah hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Karena alasan-alasan itulah
maka dewasa ini banyak negara yang telah meninggalkan penerapan asas ius soli, dan
berubah menganut asas ius sanguinis.
Dianutnya asas ius sanguinis ini besar manfaatnya bagi negara-negara yang
berdampingan dengan negara lain (neighboring countries) yang dibatasi oleh laut seperti
negara-negara Eropa Kontinental. Di negara-negara demikaian ini, setiap orang dapat
dengan mudah berpindah-pindah tempat tinggal kapan saja menurut kebutuhan.
Dengan asas ius sanguinis, anak-anak yang dilahirkan di negara lain akan tetap
menjadi warga negara dari negara asal orang tuanya. Hubungan antara negara dan
warga negaranya yang baru lahir tidak terputus selama orang tuanya masih tetap
menganut kewarganegaraan dari negara asalnya. Sebaliknya, bagi negara-negara yang
sebagian terbesar penduduknya berasal dari kaum imigran, seperti Amerika Serikat,
Australia, dan Kanada, untuk tahap pertama tentu akan terasa lebih menguntungkan
apabila menganut apabila menganut asas ius soli ini, bukan asas ius sangunis. Dengan
lahirnya anak-anak dari para imigran di negara-negara tersebut akan menjadi putuslah
hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Oleh karena itu, Amerika Serikat
menganut asas ius soli ini, sehingga banyak mahasiswa Indonesia yang berdomisili di
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 13
Amerika Serikat, apabila melahirkan anak, maka anaknya otomatis mendapatkan
status sebagai warga negara Amerika Serikat.
Sehubunga denga kedua asas tersebut, setiap negara bebas memilih asas mana
yang hendak dipakai dalam rangka kebijakan kewarganegaraan untuk menentukan
siapa saja yang diterima sebagai warga negara dan siapa yang bukan warga negara,
Setiap negara mempunyai kepentingan sendiri-sendiri berdasarkan latar belakang
sejarah yang tersendiri pula, sehingga tidak semua negara menganggap bahwa asas
yang satu lebih baik daripada asas yang lain. Dapat saja terjadi, di suatu negara, yang
dinilai lebih menguntungkan adalah asas ius soli, tetapi di negara yang lain justru asas
ius sanguinis yang dianggap lebih menguntungkan. Bahkan dalam perkembangan di
kemudian hari, timbul pula kebutuhan baru berdasarkan pengalaman di berbagai
negara bahwa kedua asas tersebut harus diubah dengan asas yang lain atau harus
diterapkan secara bersamaan untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan
double-citizenship atau dwi-kewarganegaraan (bipatride).
Namun demikian, dalam praktik, ada pula negara yang justru menganut
kedua-duanya, karena pertimbangan lebih menguntungkan bagi kepentingan negara
yang bersangkutan. Misalnya, India dan Pakistan temasuk negara yang sangat
menikmati kebijakan yang mereka terapkan dengan sistem dwi-kewarganegaraan.
Sistem yang terakhir inilah yang biasa dinamakan sebagai asas campuran. Asas yang
bersifat campuran, sehingga dapat menyebabkan terjadinya apatride atau bripatride.
Dalam hal demikian, yang ditoleransi biasanya adalah keadaan bipatride, yaitu keadaan
dwi kewarganegaraan.
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, asas-asas yang dipakai dalam
kewarganegaraan Indonesia meliputi:
1. Asas ius sanguinis, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan keturunan bukan negara tempat kelahiran;
2. Asas ius soli secara terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan
berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diperuntukkan terbatas bagi anakanak
sesuai dengana ketentuan yang diatur dalam undang-undang;
3. Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang;
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini.
Persoalan Kewarganegaraan
Bipatride dan Apatride. Seperti diuaraikan di atas, setiap negara berhak
menentukan asas yang mana yang hendak dipakai untuk menentukkan siapa yang
termasuk warga negara dan siapa yang bukan. Oleh karena itu, di berbagai negara,
dapat timbul berbagai pola pengaturan yang tidak sama di bidang kewarganegaraan.
Bahkan, antara satu negara dengan negara lain dapat timbul pertentangan atau conflict
of law atau pertentangan hukum. Misalnya, di negara A dianut ius soli sedangkan
negara B menganut asas ius sanguinis, atau sebaliknya. Hal itu tentu akan
menimbulkan persoalan bipatride atau dwi-kewarganegaraan, atau sebaliknya
menyebabkan apatride, yaitu keadaan tanpa kewarganegaraan sama sekali. Bipatride
(dwi-kewarganegaraan) timbul manakala menurut peraturan-peraturan tentang
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 14
kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang sama-sama dianggap warga negara
oleh negara-negara yang bersangkutan.
Pada umumnya, baik bipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak
disukai baik oleh negara di mana orang tersebut berdomisili ataupun bahkan oleh
yang bersangkutan sendiri, keadaan bipatride membawa ketidakpastian dalam status
seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara tertentu atau pun bagi yang
bersangkutan itu sendiri. Misalnya, yang bersangkutan sama-sama dibebani kewajiban
untuk membayar pajak kepada kedua-dua negara yang menganggap sebagai warga
negara itu. Ada juga negara yang tidak menganggap hal ini sebagai persoalan,
sehingga menyerahkan saja kebutuhan untuk memilih kewarganegaraan kepada orang
yang bersangkutan. Di kalangan negara-negara yang sudah makmur, dan rakyatnya
yang sudah rata-rata berpenghasilan tinggi, maka tidak dirasakan adanya kerugian
apapun bagi negara untuk mengakui status dwi-kewarganegaraan itu. Akan tetapi, di
negara-negara yang sedang berkembang, yang penduduknya masih terbelakang,
keadaan bipatride itu sering dianggap lebih banyak merugikan.
Sebaliknya, keadaan apatride juga membawa akibat bahwa orang tersebut
tidak akan mendapat perlindungan dari negara manapun juga. Kedua keadaan itu,
yaitu apatride dan bipatride sama-sama pernah dialami oleh Indonesia. Sebelum
ditandatanganinya perjanjian antara Indonesia dan RRC, sebagian orang-orang Cina
yang berdomisili di Indonesia menurut peraturan kewarganegaraan dari Republik
Rakyat Cina yang berasas ius sanguinis, tetap dianggap sebagai warga negara Republik
Rakyat Cina. Sebaliknya, menurut Undang-undang tentang kewarganegaraan
Indonesia pada waktu itu, orang Cina tersebut sudah dianggap menjadi warga negara
Indonesia. Dengan demikian terjadilah keadaan bipatride bagi orang Tionghoa yang
bersangkutan.
Di lain hal, ada pula sebagian orang-orang Tionghoa yang oleh pemerintah
RRC dianggap pro kaum nasionalis Kuomintang tidak diakui sebagai warga
negaranya. Sedangkan, Taiwan yang dianggap sebagai negara kaum nasionalis itu
tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. Oleh sebab itu, mereka
juga diakui oleh Taiwan sebagai warga negaranya, sehingga mereka tidak mempunyai
status sama sebagai warga negara mana pun juga, dan dapat disebut defacto apatride.
Keadaan semacam ini tentu harus diatasi, apalagi, dalam pasal 28D ayat (4) UUD
1945 dengan tegas dinyatakan, “Setiap orang berhak atas status kewargangeraan”.
Baik bipatride maupun apatride tersebut tentu harus dihindarkan dengan cara
menutup kemungkinan terjadinya kedua keadaan itu dengan undang-undang tentang
kewarganegaraan. Umpamanya untuk mencegah bipatride, pasal 7 Undang-undang
Nomor 62 tahun 1958 menentukkan bahwa seseorang perempuan asing yang kawin
dengan laki-laki warga negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan
Indonesia dengan pernyataan dan dengan syarat harus meninggalkan
kewarganegaraan asalnya. Demikian pula, untuk mencegah kemungkinan apatride.
Undang-undang termasuk dalam Pasal 1 huruf f menentukan, bahwa anak yang lahir
di wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui, adalah
warga negara Indonesia.
Seandainya ketentuan ini tidak ada, maka niscaya kelak anak itu akan menjadi
apatride karena tidak diketahui siapa orang tuanya, sehingga sulit untuk menentukan
status kewarganegaraannya. Dengan dua contoh ini jelaslah bahwa setiap undangundang
tentang kewarganegaraan dapat mencegah timbulnya keadaan bipatride dan
apatride. Persoalannya sekarang bagaimana kalau bipatride telah terjadi di Republik
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 15
Indonesia sebelum tahun 1955, di mana pada waktu itu orang-orang Cina karena
peraturan perundangan yang berlaku pada saat itu dapat dianggap sebagai warga
negara republik Indonesia, sedangkan dalam keadaan yang bersamaan Republik
Rakyat Cina tetap pula beranggapan bahwa orang-orang Cina tersebut adalah warga
negaranya.
Pemecahan atas permasalahan ini adalah tidak mungkin lain dari pada
membuka kemungkinan perundingan langsung di antara negara-negara yang
bersangkutan. Oleh karena itulah pada tanggal 22 April 1955 telah ditandatangani
masing-masing oleh Menteri luar Negeri Republik Indonesia dan Republik Rakyat
Cina yang dikenal sebagai Perjanjian Soenario-Chou. Pejanjian inilah yang kemudian
dituangkan menjadi Undang-undang Nomor 2 tahun 1958 tentang Persetujuan
Perjanjian Antara Republik Indonesia dengan RRT mengenai Soal
Dwikewarganegaraan. Dalam perjanjian itu ditentukkan bahwa kepada semua orang
Cina yang ada di Indonesia harus mengadakan pilihan tegas dan tertulis, apakah akan
menjadi warga negara Republik Indonesia atau tetap berkewarganegaraan Republik
Rakyat Cina. Dengan demikian, terpecahkanlah masalah dwi-kewarganegaraan yang
pernah timbul antar RRC dan RI di masa lalu.
Sistem Campuran dan Masalah Dwi-Kewarganegaraan. Seperti sudah
diuraikan di atas, asas yang dikenal dalam kewarganegaraan adalah ius soli dan ius
sanguinis. Pada umumnya, satu negara hanya menganut salah satu dari kedua asas ini.
Akan tetapi, karena tidak timbul perbedaan yang mengakibatkan terjadinya keadaan
apatride dan bipatride. Keadaan tanpa kewarganegaraan atau apatride jelas harus
dihindari dan membiarkan atau bahkan memberi kesempatan kepada warganya untuk
berstatus dwi-kewarganegaraan. Hal ini terjadi, antara lain, karena asas
kewarganegaraan yang dianut bersifat campuran.
Di dunia yang dewasa ini cenderung semakin menyatu dan dengan dinamika
pergaulan antar umat manusia yang semakin longgar dan dinamis, gejala
kewarganegaraan ganda ini sangat mungkin akan terus berkembang di masa-masa
yang akan datang. Bahkan, boleh jadi, yang akan muncul dalam praktik, tidak saja
masalah dwi-kewarganegaraan, tetapi mungkin juga multi-kewarganegaraan, terutama
di kalangan kelompok orang kaya dan dapat hidup berpindah-pindah dengan
sekehendak hatinya.
Bagi mereka itu, tidak juga ada kerugian apa-apa bagi negara mana pun untuk
membiarkan mereka memiliki status kewarganegaraan lebih dari satu, asalkan yang
bersangkutan tetap menjalankan kewajibannya untuk membayar pajak sesuai dengan
ketentuan perundangan-undangan negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, semua
negara modern di dunia dewasa ini dihadapkan dengan persoalan kewarganegaraan
ganda sebagai masalah yang riel. Jawabannya tergantung kepada pertimbangan
untung dan rugi yang akan anda hadapi oleh masing-masing negara itu sendiri,
apakah dengan memberikan kesempatan adanya kewarganegaraan ganda itu akan
lebih menguntungkan atau merugikan.
Disamping itu, ketentuan kewarganegaraan ganda itu sendiri dapat
dimungkinkan dalam hal apa dan bagaimana. Misalnya, dapat saja ditentukan bahwa
kewarganegaraan ganda itu hanya dimungkinkan untuk hal-hal antarnegara. Misalnya,
antara Republik Indonesia dan Amerika Serikat atau dengan negara lain. Demikian
pula syarat-syaratnya dapat pula ditentukan bersifat khusus, misalnya, jika seorang
anak lahir dari ibu berkewarganegaraan Indonesia dan ayahnya berkewarganegaraan
Amerika Serikat, dapat ketentuan yang biasa, maka setelah anak itu dewasa, ia diberi
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 16
kesempatan untuk menentukan pilihan wajib untuk menjadi warga negara Indonesia
atau warga negara ayahnya.
Akan tetapi, dengan demikian, berarti anak itu dibiarkan meninggalkan dan
tidak menghormati kesetiaan ibunya untuk tetap berkewarganegaraan Indonesia.
Padahal keluarga ibu dan ayahnya tetap rukun dan tenteram sebagai satu keluarga
yang utuh. Oleh karena itu, dalam hal demikian, apakah secara moral dapat
dibenarkan bahwa negara dapat memaksa si anak itu untuk menentukan pilihan agar
memilih salah satu kewarganegaraan ayahnya dan ibunya. Dalam kasus demikian,
kecuali apabila yang bersangkutan dengan kehendak dan kesadarannya sendiri
menentukan pilihan itu, maka seharusnya negara tidak boleh memaksa dengan
instrumen undang-undang agar yang bersangkutan memilih salah satu
kewarganegaraan ayahnya atau ibunya. Dalam hal ini yang penting bagi negara ialah
bahwa warga negara itu memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Bahwa ia
tetap ingin bertahan dengan dua-kewarganegaraan, dapat saja tidak dipandang sebagai
kerugian bagi negara.
Memang benar bahwa pasal 28D ayat (4) UUD 1945 hanya menyatakan
“Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. Di situ tidak dinyatakan bahwa
setiap orang juga berhak atas suatu atau dua status kewarga negaraa. Namun yang
penting bagi UUD 1945 adalah tidak boleh terjadi keadaan apatride, sedangkan
kemungkinan terjadinya bipatride, tidak diharuskan dan juga tidak dilarang. Oleh
karena itu, kebijakan mengenai hal ini diserahkan kepada pembentuk undang-undang
untuk mengaturnya lebih lanjut dengan undang-undang sesuai ketentuan Pasal 26
ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, „Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk
diatur dengan undang-undang”.
Dalam konteks UU No. 12. Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal
adanya kewarganegaraan bipatride ataupun apatride. Kewarganegaraan ganda
merupakan pengecualian.
Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan
Dalam berbagai literatur hukum di Indonesia, biasanya cara memperoleh status
kewarganegaraan hanya digambarkan terdiri atas dua acara, yaitu status
kewarganegaraan dengan kelahiran di wilayah hukum Indonesia, atau dengan cara
pewarganegaraan atau naturalisasi (naturlalization). Akan tetapi, disamping itu, ada tiga
cara perolehan kewarganegaraan, yaitu citizenship by birth, ctizenship by naturalization, dan
citizenship by registration. Namun demikian, jika dirinci lebih lanjut, sebenarnya cara
untuk memperoleh status kewarganegaraan yang dipraktikan di berbagai negara lebih
banyak lagi. Oleh karena itu, dapat dirumuskan bahwa dalam praktik, memang dapat
dirumuskan adanya 5 (lima) prosedur atau metode perolehan status kewarganegaraan,
yaitu: Citizenship by birth; Citizenship by descent; Citizenship by naturalisation; Citizenship by
registration; Citizenship by incoporation of territory (Asshiddiqie, 2006).
Pertama, citizenship by birth adalah pewarganegaraan berdasarkan kelahiran di
mana setiap orang yang lahir di wilayah suatu negara, dianggap sah sebagai warga
negara yang bersangkutan. Asas yang dianut di sini adalah asas ius soli, yaitu tempat
kelahiranlah yang menentukan kewarganegaraan seseorang. Namun, dalam praktik,
hal ini juga tidak bersifat mutlak. Misalnya, di Inggris, sebelumnya berlaku prinsip
bahwa “subject to minor exceptions, birth in the United Kingdom confered British natioanlly”.
Sekarang ketentuan ini diperketat dengan ketentuan bahwa “Birth in the United Kingdom
provided that one parent at the time of birth a british citizen or was settled in the United Kingdom”.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 17
Meskipun demikian, seseorang yang lahir di Inggris, masih dapat memperoleh
kesempatan menjadi warga negara Inggris, apabila kelak salah satu orang tuanya di
kemudian hari mendapatkan kewarganegaraan Inggris atau apabila yang bersangkutan
telah hidup menetapkan di Inggris selama lebih dari sepuluh tahun.
Kedua, citizen by descent adalah kewarganegaraan berdasarkan keturunan
dimana seseorang yang lahir diluar wilayah suatu negara dianggap sebagai warga
negara karena keturunan, apabila pada waktu yang bersangkutan dilahirkan, kedua
orang tuanya adalah warga negara dari negara tersebut. Asas yang dipakai di sini
adalah ius sanguinis, dan hukum kewarganegaraan Indonesia pada pokoknya
menganut asas ini, yaitu melalui garis ayah. Ketentuan serupa ini juga dianut di
Inggris berdasarkan citizenship act of 1948 yang mengizinkan “the acqusition of citizenship
by descent only through the father”. Sekarang ketentuan ini lebih diperketat yaitu dengan
membatasinya hanya untuk garis keturunan satu generasi saja. Dengan perkataan lain,
dapat dikatakan bahwa hukum kewarganegaraan Inggris sesudah berlakunya citizenship
act of 1981 menganut sistem kewarganegaraan melalui kelahiran (by birth) dan juga
melalui garis keturanan (by descent).
Ketiga, citizenship by naturalization merupakan pewarganegaraan orang asing
yang atas kehendak sadarnya sendiri mengajukan permohonan untuk menjadi warga
negara dengan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan untuk itu. Keempat,
citizenship by regristration merupakan pewarganegaraan bagi mereka yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu dianggap cukup dilakukan melalui prosedur
administrasi pendaftaran yang lebih sederhana dibandingkan dengan metode
naturalisasi yang lebih rumit. Misalnya, seorang wanita asing yang menikah dengan
pria berkewarganegaraan Indonesia, haruslah dipandang mempunyai kasus yang
berbeda dari seseorang yang secara sadar dan atas kehendaknya sendiri ingin menjadi
warga negara Indonesia dengan naturalisasi. Untuk kasus seperti ini dapat saja
ditentukan dengan undang-undang bahwa proses pewarganegaraan tidak harus
melalui prosedur naturalisasi, melainkan cukup melalui proses registrasi. Dapat pula
terjadi, seorang anak dari ayah asing dan ibu berkewarganegaraan Indonesia, setelah
dewasa memilih kewarganegaraan Indonesia, maka proses pewarganegaraannya
cukup dilakukan melalui prosedur administrasi pendaftaran disertai surat pernyataan
kewarganegaraan.
Di Inggris, misalnya, menteri dalam negeri (home secretary) diberi kewenangan
“to registrer minors as british citizens by section 3 which spells out particular requrements to be
satisfied in spesific types of application”. Seorang yang dianggap mempunyai hak untuk
mendapatkan kewarganegaraan melalui pendaftaran adalah: British Dependent Territories;
Britisht Overseas Citizens; Britisht Subjects; dan British Protected Persons yang memenuhi
persyaratan tinggal (residence requirements) menurut ketentuan Section 4 Act of 1981.
Pendaftaran juga dimungkinkan bagi mereka yang terkait dengan ketentuan peralihan
UU Tahun 1981 (Act of 1981) yang sejak dulunya seharusnya sudah terdaftar sebagai
warga negara Inggris, yaitu: by virtue of residence (section 7); dalam hal wanita yang
kawin dengan warga negara Inggris (section 8); dan dengan pendaftaran di konsulat
Inggris di luar negeri (section 9).
Kelima, citizenship by incoporporation of territory yaitu proses pewarganegaraan
karena terjadinya perluasan wilayah negara. Misalnya, ketika Timor Timur menjadi
wilayah negara Republik Indonesia, maka proses pewarganegaraan warga Timor
Timur itu dilakukan melalui prosedur yang khusus ini. Sebenarnya, secara teknis,
metode terakhir ini dapat juga disebut sebagai variasi metode pewarganegaraan
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 18
bedasarkan pendaftaran atau citizenship by registration seperti yang telah diuraikan di
atas.
Bagaimana seseorang dapat kehilangan kewarganegaraannya? Pasal 23 UU
No. 12 Tahun 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
menyatakan bahwa warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika
yang bersangkutan:
1. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
2. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang
yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
3. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya
sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah
kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang
Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
4. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;
5. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas
semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia;
6. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada
negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;
7. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat
ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
8. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau
surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih
berlaku dari negara lain atas namanya; atau
9. bertempat tinggal di Iuar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima)
tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah
dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi
Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir,
dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan
pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan
Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang
bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah
memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang
bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Hak warga negara adalah sesuatu yang dapat dimiliki oleh warga negara dari
negaranya. Hak warga negara ini diperoleh dari negara seperti hak untuk hidup secara
layak, dan aman, pelayanan dan hal lain yang diatur dalam undang-undang.
Sedangkan kewajiban warga negara adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh warga
negara. Kewajiban warga negara ini ditetapkan oleh undang-undang seperti untuk
membela negara, menaati undang-undang dan sebagainya.
Apa saja hak warga negara itu? Dalam ketentuan UUD 1945 dirumuskan hakhak
yang dimiliki warga negara Indonesia sebagaimana uraian berikut:
1. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak: “Tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2).
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 19
2. Hak berserikat, berkumpul serta mengeluarkan pikiran: Warga negara juga
memiliki hak “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” (pasal 28)
3. Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” (pasal 28A).
4. Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1).
5. Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. (pasal 28B ayat 2)
6. Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya
dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup
manusia. (pasal 28C ayat 1)
7. Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C ayat 2).
8. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di depan hukum. (pasal 28D ayat 1).
9. Hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja. (pasal 28D ayat 2).
10. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (pasal
28D ayat 3)
11. Hak atas status kewarganegaraan (pasal 28D ayat 4)
12. Hak atas kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal d wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali. (pasal 28E ayat 1)
13. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya (pasal 28E ayat 2)
14. Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
(pasal 28E ayat 3)
15. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. (pasal 28F
ayat 1)
16. Hak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi. (pasal 28G ayat 1)
17. Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik negara lain. (pasal
28G ayat 2)
18. Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. (pasal 28H ayat 1)
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 20
19. Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
(pasal 28H ayat 2)
20. Hak atas jaminan sosial yang memungkinakan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat (pasal 28H ayat 3)
21. Hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. (pasal 28H ayat 4)
22. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1)
23. Hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas adasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu. (pasal 28I ayat 2)
24. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban. (pasal 28I ayat 3).
25. Hak kemerdekaan memeluk agama: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa” (pasal 29 ayat 1), dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” (pasal 29 ayat 2)
26. “Setiap Warga negara berhak mendapat pendidikan” (pasal 31 ayat 1)
27. Hak untuk mendapatkan Kesejahteraan sosial: pasal 33 UUD 1945 ayat (1),
(2), (3), (4), dan (5):
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi denngan
prinsip kebersamaan, effisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
28. Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial: pasal 34 ayat 1 UUD 1945
menjelaskan: “Fakir miskin dananak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Disamping mengatur tentang hak-hak yang dimiliki setiap warga negara,
ketentuan UUD 1945 juga mengatur tentang kewajiban warga negara Indonesia
sebagai berikut:
1. Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
berbunyi: “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.
2. Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUd 1945
menyatakan: “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara”.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 21
3. Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1
mengatakan: “Setiap orang wajib menghormati hak asai manusi orangn lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
4. Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 28J ayat 2 menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
makasud semata-mat untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.”
5. Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat
(1) UUD 1945 menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
6. Wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 31 ayat 2 menyatakan; “Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 22
BAB 4
Demokrasi
Pengertian Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari kata Yunani demos dan kratos. Demos artinya rakyat,
kratos berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi, artinya pemerintahan rakyat, yaitu
pemerintahan yang rakyatnya memegang peranan yang sangat menentukan. Dalam
The Advancced Learner”s Dictionary of Current English dikemukakan bahwa yang
dimaksud dengan democracy adalah :
“(1) country with principles of government in which all adult citizens share through their
ellected representatatives; (2) country with government which encourages and allows rights of
citizenship such as freedom of speech, religion, opinion, and association, the assertion of rule
of law, majority rule, accompanied by respect for the rights of minorities. (3) society in which
there is treatment of each other by citizens as equals”.
Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk
kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana warga negara dewasa turut
berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; pemerintahannya
mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat,
berserikat, menegakkan rule of law, adanya pemerintahan mayoritas yang
menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang warganegaranya
saling memberi peluang yang sama.
Istilah demokrasi, pertama kali dipakai di Yunani kuno, khususnya di kota
Athena, untuk menunjukkan sistem pemerintahan yang berlaku disana. Kota-kota di
daerah Yunani pada waktu itu kecil-kecil. Penduduknya tidak begitu banyak sehingga
mudah dikumpulkan oleh pemerintah dalam suatu rapat untuk bermusyawarah.
Dalam rapat itu diambil keputusan bersama mengenai garis-garis besar kebijaksanaan
pemerintah yang akan dilaksanakan dan segala permasalahan mengenai
kemasyarakatan.
Karena rakyat itu serta secara langsung, pemerintah itu disebut pemerintahan
demokrasi langsung. Pemerintahan demokrasi langsung di Indonesia dapat kita lihat di
dalam pemerintahan desa. Kepala desa atau lurah dipilih langsung oleh rakyat desa itu
sendiri. Pemilihan kepala desa itu dilakukan secara sederhana sekali. Para calon
menggunakan tanda gambar hasil pertanian, seperti padi atau pisang. Rakyat
memberikan suara kepada calon masing-masing, yang dipilih dengan memasukkan
lidi ke dalam tabung bambu milik calon yang dipilihnya. Calon yang memiliki lidi
terbanyaklah yang terpilih menjadi kepala desa. Di samping memilih kepala desa,
pada hari-hari tertentu warga desa dikumpulkan oleh kepala desa di balai desa untuk
membicarakan masalah yang menyangkut kepentingan bersama. Peristiwa semacam
ini dikenal dengan nama musyawarah desa.
Dalam perjalanan sejarah, kota-kota terus berkembang dan penduduknya pun
terus bertambah sehingga demokrasi langsung tidak lagi diterapkan karena :
1. Tempat yang dapat menampung seluruh warga kota yang jumlahnya besar
tidak mungkin disediakan.
2. Musyawarah yang baik dengan jumlah peserta yang besar tidak mungkin
dilaksanakan.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 23
3. Hasil persetujuan secara bulat atau mufakat tidak mungkin tercapai karena
sulitnya memungut suara dari semua peserta yang hadir.
Bagi negara-negara besar yang penduduknya berjuta-juta, yang tempat
tinggalnya bertebaran di beberapa daerah atau kepulauan, penerapan demokrasi
langsung juga mengalami kesukaran. untuk memudahkan pelaksanaannya setiap
penduduk dalam jumlah tertentu memilih wakilnya untuk duduk dalam suatu badan
perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan perwakilan inilah yang
kemudian menjalankan demokrasi. Rakyat tetap merupakan pemegang kekuasaan
tertinggi. Hal ini disebut demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan.
Bagi negara-negara modern, demokrasi tidak langsung dilaksanakan karena
hal-hal berikut.
1. Penduduk yang selalu bertambah sehingga suatu musyawarah pada suatu
tempat tidak mungkin dilakukan.
2. Masalah yang dihadapi oleh suatu pemerintah makin rumit dan tidak
sederhana lagi seperti yang dihadapi oleh pemerintah desa yang tradisional.
3. Setiap warga negara mempunyai kesibukan sendiri-sendiri di dalam
mendosens kehidupannya sehingga masalah pemerintahan cukup diserahkan
kepada orang yang berminat dan mempunyai keahlian di bidang
pemerintahan negara.
Istilah demokrasi yang berarti pemerintah rakyat itu, sesudah zaman Yunani
Kuno, tidak disebut lagi. Baru setelah meletusnya Revolusi Amerika dan Revolusi
Perancis, istilah demokrasi muncul kembali sebagai lawan sistem pemerintahan yang
absolut (monarki mutlak), yang menguasai pemerintahan di dunia Barat sebelumnya.
Di dalam kenyataannya, demokrasi dalam arti sistem pemerintahan yang baru
ini mempunyai arti yang luas, mula-mula demokrasi berarti politik yang mencakup
pengertian tentang pengakuan hak-hak asasi manusia, seperti hak kemerdekaan pers,
hak berapat, serta hak memilih dan dipilih untuk bedan-badan perwakilan.
Kemudian, digunakan istilah demokrasi dalam arti luas, yang selain meliputi sistem
politik, juga mencakup sistem ekonomi dan sistem sosial.
Dengan demikian, demokrasi dalam arti luas, selain mencakup pengertian
demokrasi pemerintahan, juga meliputi demokrasi ekonomi dan sosial. Namun
pengertian demokrasi yang paling banyak dibahas dari dahulu sampai sekarang ialah
demokrasi pemerintahan.
Landasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintah demokrasi ialah
pengakuan hakikat manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu mempunyai
kemampuan yang sama dalam hubungannya antara yang satu dan yang lain.
Berdasarkan gagasan dasar itu, dapat ditarik dua buah asas pokok sebagai berikut.
1. Pengakuan partisipasi di dalam pemerintahan. misalnya, pemilihan wakilwakil
rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara bebas dan rahasia.
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia. Misalnya, tindakan Pemerintah
untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, USIS (1995:6) mengintisarikan
demokrasi sebagai sistem yang memiliki 11 (sebelas) pilar atau soko guru, yakni
“Kedaulatan Rakyat, Pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah,
Kekuasaan mayoritas, Hak-hak minoritas, Jaminan Hak Asasi Manusia, Pemilihan
yang bebas dan jujur, Persamaan di depan hukum, Proses hukum yang wajar,
Pembatasan pemerintahan secara konstitusional, Pluralisme Sosial, Ekonomi dan
politik, dan Nilai-nilai toleransi, Pragmatisme, Kerjasama dan mufakat.”
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 24
Sementara itu, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia Sanusi
(1998) mengemukakan nilai-nilai demokrasi Indonesia sebagai berikut: “Demokrasi
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Demokrasi dengan kecerdasan, demokrasi yang
berkedaulatan rakyat, Demokrasi dengan rule of law, Demokrasi dengan pembagian
kekuasaan negara, Demokrasi dengan hak azasi manusia, Demokrasi dengan
peradilan yang merdeka, Demokrasi dengan otonomi daerah, Demokrasi dengan
kemakmuran, dan Demokrasi yang berkeadilan sosial”.
Nilai-nilai Demokrasi
Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan untuk
mengembangkan pemerintahan demokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi inilah,
sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa adanya kondisi
ini, pemerintah tersebut akan sulit ditegakkan. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah:
kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati
orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan, dan kepercayaan.
Disamping nilai-nilai tersebut, diperlukan pula sejumlah kondisi agar nilai-nilai
tersebut dapat ditegakkan sebagai pondasi demokrasi.
Kebebasan menyatakan pendapat adalah hak bagi warga negara biasa yang
wajib dijamin dengan undang-undang dalam sebuah sistem politik demokratis (Dahl,
1971). Kebebasan ini diperlukan karena kebutuhan untuk menyatakan pendapat
senantiasa muncul dari setiap warga negara dalam era pemerintahan terbuka saat ini.
Hak untuk menyampaikan pendapat ini wajib dijamin oleh pemerintah sesuai
dengan undang-undang yang berlaku sebagai bentuk kewajiban negara untuk
melindungi warga negaranya yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah atau
unsur swasta. Semakin cepat dan efektif cara pemerintah memberikan tanggapan,
semakin tinggi pula kualitas demokrasi pemerintah tersebut.
Kebebasan berkelompok. Berkelompok dalam suatu organisasi merupakan
nilai dasar demokrasi yang diperlukan bagi setiap warga negara (Dahl, 1971).
Kebebasan berkelompok ini diperlukan untuk membentuk organisasi
kemahasiswaan, partai politik, organisasi massa, perusahaan, dan kelompokkelompok
lain. Kebutuhan berkelompok merupakan naluri dasar manusia yang tak
mungkin diingkari.
Masyarakat primitif berkelompok dalam mencari makan dan perlindungan
dari kejaran hewan liar maupun kelompok lain yang jahat. Dalam era modern,
kebutuhan berkelompok ini tumbuh semakin kuat. Persoalan-persoalan yang muncul
di tengah masyarakat yang sedemikian kompleks seringkali memerlukan organisasi
untuk menemukan jalan keluar.
Demokrasi menjamin kebebasan warga negara untuk berkelompok, termasuk
membentuk partai politik baru maupun mendukung partai politik apapun. Tidak ada
lagi keharusan mengiktui ajakan dan intimidasi pemerintah. Tak ada lagi ketakutan
untuk menyatakan afiliasinya ke dalam partai politik selain partai
penguasa/pemerintah. Demokrasi memberikan alternatif yang lebih banyak dan lebih
sehat bagi warga negara. Itu semua karena jaminan bahwa demokrasi mendukung
kebebasan berkelompok.
Kebebasan berpartisipasi sesungguhnya merupakan gabungan dari
kebebasan berpendapat dan berkelompok. Beberapa jenis partisipasi menurut
Patterson antara lain:
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 25
1. Pemberian suara dalam pemilihan umum, baik pemilihan anggota DPR,
DPD, maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
2. Kontak/hubungan dengan pejabat pemerintah
3. Melakukan protes terhadap lembaga masyarakat atau pemerintah
4. Mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan publik melalui pemilihan sesuai
dengan sistem pemilihan yang berlaku
Kesetaraan (egalitarisme) antar warga merupakan salah satu nilai
fundamental yang diperlukan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.
Kesetaraan ini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga
negara. Kesetaraan memberi tempat bagi setiap warga negara tanpa membedakan
etnis, bahasa, daerah, maupun agama. Nilai ini diperlukan bagi masyarakat heterogen
seperti Indonesia yang sangat multietnis, multibahasa, multidaerah, dan multiagama.
Heterogenitas masyarakat Indonesia seringkali mengundang masalah, khususnya bila
terjadi miskomunikasi antar kelompok yang kemudian berkembang luas menjadi
konflik.
Kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, dimana
kedudukan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama di depan hukum, karena
laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk sosial. Laki-laki
maupun perempuan memiliki akses yang sama dalam politik, sosial, ekonomi, dan
sebagainya. Oleh karena itu, demokrasi tanpa kesetaraan gender akan berdampak
pada ketidakadilan sosial.
Kedaulatan rakyat. Dalam negara demokrasi, rakyat memiliki kedaulatan.
Hal ini berarti bahwa rakyat berdaulat dalam menentukan pemerintahan. Warga
negara sebagai bagian dari rakyat memiliki kedaulatan dalam pemilihan yang berujung
pada pembentukan pemerintahan. Pemerintah dengan sendirinya berasal dari rakyat
dan bertanggung jawab kepada rakyat. Rasa ketergantungan pemerintah kepada
rakyat inilah yang kemudian menghasilkan makna akuntabilitas. Politisi yang
akuntabel adalah politisi yang menyadari bahwa dirinya berasal dari rakyat. Oleh
Karen aitu, ia wajib mengembalikan apa yang diperolehnya kepada rakyat.
Kedaulatan rakyat memberi politisi mandat untuk menjabat dan sekaligus
untuk memenuhi kewajibannya sebagai wakil rakyat yang bertanggung jawab kepada
rakyat, dan bukan sekedar kepada diri sendiri atau kelompok.
Rasa percaya (trust) antar kelompok masyarakat merupakan nilai dasar lain
yang diperlukan agar demokrasi dapat terbentuk. Sebuah pemerintahan demokrasi
akan sulit berkembang bila rasa saling percaya satu sama lain tidak tumbuh. Bila yang
ada adalah ketakutan, kecurigaan, kekhawatiran, dan permusuhan, hubungan antar
kelompok masyarakat akan terganggu secara permanen. Kondisi ini sangat merugikan
keseluruhan sistem sosial dan politik.
Jika rasa percaya tidak ada, besar kemungkinan pemerintah akan kesulitan
menjalankan agendanya, karema lemahnya dukungan sebagai akibat dari kelangkaan
rasa percaya. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah yang terpilih secara demokratis
pun bahkan bisa terguling dengan mudah sebelum waktunya, sehingga membuat
proses demokrasi berjalan semakin lambat.
Kerjasama diperlukan untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam tubuh
masyarakat. Akan tetapi, kerjasama hanya mungkin terjadi jika setiap orang atau
kelompok bersedia untuk mengorbankan sebagian dari apa yang diperoleh dari
kerjasama tersebut. Kerjasama bukan berarti menutup munculnya perbedaan
pendapat antar individu atau antar kelompok. Tanpa perbedaan pendapat, demokrasi
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 26
tidak mungkin berkembang. Perbedaan pendapat ini dapat mendorong setiap
kelompok untuk bersaing satu sama lain dalam mencapai tujuan yang lebih baik.
Kerjasama saja tidak cukup untuk membangun masyarakat terbuka.
Diperlukan kompetisi satu sama lain sebagai pendorong bagi kelompok untuk
meningkatkan kualitas masing-masing. Kompetisi menuju sesuatu yang lebih
berkualitas sangat diperlukan, sementara kerjasama diperlukan bagi kelompokkelompok
untuk menopang upaya persaingan dengan kelompok lain. Disamping itu
diperlukan pula kompromi agar persaingan menjadi lebih bermanfaat, karena dengan
kompromi itulah sisi-sisi agresif dari persaingan dapat diperhalus jadi bentuk
kerjasama yang lebih baik.
Landasan Pengembangan Demokrasi
Salah satu kondisi yang diperlukan untuk mengembangkan demokrasi adalah
Pertumbuhan ekonomi yang memadai. Menurut Robert Dahl (1971) faktor
ekonomi dalam bentuk GNP per kapita (dollar) merupakan salah satu faktor
kondisional penentu demokrasi dalam ukuran dollar. Menurut Dahl (1971) bahwa
negara dengan GNP per kapita US $ 700 berpeluang besar membentuk sistem politik
demokrasi. Walaupun demikian, menurut Huntington (1995) kemakmuran ekonomi
bukanlah satu-satunya faktor penentu tumbuhnya demokrasi.
Pluralisme. Masyarakat plural dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari
berbagai kelompok. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung
dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan sistemik yang
mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan
kelompok tertentu.
Pluralisme mengajarkan kepada kelompok-kelompok yang ada di dalam
masyarakat untuk meningkatkan kualitas dan daya saing masing-masing kelompok.
Usaha kolektif untuk menuju kehidupan yang lebih baik dijalankan melalui sebuah
kompetisi antar kelompok dengan aturan main yang telah disepakati. Kesadaran
pluralism masyarakat ini dapat menghindarkan pecahnya konflik antar kelompok
setiap kali terjadi persaingan di dalamnya.
Pola hubungan Negara dan masyarakat merupakan kondisi lain yang
menentukan kualitas pengembangan demokrasi. Demokrasi memerlukan sebuah
negara yang kuat, tetapi menghormati hukum, partai politik, legislatif, media massa,
dan rakyat pada umumnya. Negara seperti inilah yang dapat memberi perlindungan
bagi rakyatnya dan menjadi penopang bagi pengembanga nilai-nilai demokrasi.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 27
BAB 5
Negara dan Konstitusi
Pengertian Negara
Kata “negara” berasal dari kata state (Inggris), staat (Belanda), etat (Perancis) yang
berasal dari kata Latin status atau statum yang artinya keadaan yang tegak dan tetap
atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Istilah itu umumnya
diartikan sebagai kedudukan (standing, station). Misalnya: status civitatis (kedudukan
warga negara), status republicae (kedudukan negara).
Menurut Sokrates, Plato dan Aristoteles, konsep negara telah muncul dimulai
400 tahun sebelum masehi. Adanya negara di dalam masyarakat itu didorong oleh
dua hal, yaitu manusia sebagai makhluk sosial (animal social) dan manusia sebagai
makhluk politik (animal politicum) (Thomas Aquinas). Sedangkan menurut Thomas
Hobbes, adanya negara itu diperlukan karena negara merupakan tempat berlindung
bagi individu, kelompok, dan masyarakat yang lemah dari tindakan individu,
kelompok, dan masyarakat, maupun penguasa yang kuat (otoriter) – karena
menurutnya – manusia dengan manusia lainnya memiliki sifat seperti serigala (homo
homini lupus)
Negara adalah suatu organisasi kekuasan dari sekelompok atau beberapa
kelompok manusia yang bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui
adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok
atau beberapa kelompok manusia tersebut. Beberapa ahli mengemukakan pengertian
negara menurut sudut pandang mereka masing-masing seperti uraian berikut:
1. Aristoteles, merumuskan negara dalam bukunya Politica, sebagai negara polis,
karena negara masih berada dalam suatu wilayah yang kecil sehingga warga
negara dapat diikutsertakan dalam musyawarah (ecclesia).
2. Agustinus, membedakan negara dalam dua pengertian, yaitu civitas dei yang
artinya negara Tuhan, dan civitas terrena atau civitas diaboli yang artinya negara
duniawi.
3. Nicollo Machiavelli, merumuskan negara sebagai negara kekuasaan, dalam
bukunya Il Principle. Ia terkenal karena ajarannya tentang tujuan yang dapat
menghalalkan segala cara.
4. Georg Jellinek, mengatakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan dari
sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
5. Kranenburg, negara adalah organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu
golongan atau bangsanya sendiri.
6. Roger F. Soultau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang
mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
7. Harold J. Lasky, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena
mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih
agung dari pada individu atau kelompok, yang merupakan bagian dari
masyarakat itu.
8. George Wilhelm Frerdrich Hegel, negara merupakan organisasi kesusilaan yang
muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan
universal.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 28
9. John Locke dan Rousseau mengatakan “negara adalah suatu badan atau
organisasi hasil daripada perjanjian masyarakat”.
10. Max Weber, mengatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang
mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam
suatu wilayah.
11. Mc Iver, menjelaskan negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan
penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan
berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang
demi maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.
12. Jean Bodin, negara adalah persekutuan keluarga dengan segala kepentingannya
yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.
12. Soenarko, negara adalah organisasi kekuasaan masyarakat yang mempunyai
daerah tertentu di mana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai
sovereign.
13. R. Djokosoetono, negara ialah suatu organisasi masyarakat atau kumpulan
manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
14. Miriam Budiardjo, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut dari warga
negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui
penguasaan (kontrol) monopolistis dan kekuasaan yang sah.
Unsur-unsur Negara
Unsur-unsur negara dapat dibedakan menjadi unsur konstitutif dan unsur deklaratif.
Pertama, unsur konstitutif adalah unsur pembentuk yang harus dipenuhi agar
terbentuk negara. Unsur ini terdiri atas:
1. Wilayah, yaitu daerah yang menjadi kekuasaan negara serta menjadi tempat
tinggal bagi rakyat negara. Wilayah juga menjadi sumber kehidupan rakyat
negara. Wilayah negara mencakup darat, laut, dan udara.
2. Rakyat, yaitu orang-orang yang bertempat tinggal di wilayah itu, tunduk pada
kekuasaan negara dan mendukung negara yang bersangkutan.
3. Pemerintahan yang berdaulat, yaitu adanya penyelenggara negara yang memiliki
kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan di negara tersebut. Pemerintah
tersebut memiliki kedaulatan baik ke dalam mau pun ke luar. Kedaulatan ke
dalam berarti negara memiliki kekuasaan untuk ditaati oleh rakyatnya.
Kedaulatan ke luar berarti negara mampu mempertahankan diri dari serangan
dari negara lain.
Kedua, unsur deklaratif adalah unsur yang sifatnya menyatakan, bukan mutlak
harus dipenuhi. Unsur ini terdiri atas: tujuan negara, Undang Undang Dasar,
Pengakuan dari negara lain, baik secara “de jure” maupun “de facto”, dan masuknya
negara tersebut ke dalam PBB.
Sifat-sifat Negara
Negara memiliki sifat-sifat khusus sebagai manifestasi dari kedaulatan yang
dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja, tidak terdapat pada asosiasi
atau organisasi lainnya. Secara umum, setiap negara memiliki sifat memaksa,
memonopoli, dan sifat mencakup semua (Budiardjo, 1998:40).
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 29
1. Sifat memaksa, agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan
demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki
dicegah, maka negara memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendak dan
kekuasaannya untuk menyelenggarakan ketertiban baik dengan memakai
kekerasan fisik maupun melalui jalur hukum (legal). Sarana untuk itu adalah
polisi, tentara, dan sebagainya.
2. Sifat monopoli, artinya negara memiliki hak menetapkan tujuan bersama
masyarakat. Dalam hal ini, negara negara memiliki hak untuk melarang
sesuatu yang bertentangan dan menganjurkan sesuatu yang dibutuhkan
masyarakat.
3. Sifat mencakup semua (all encompassing, all embracing, totaliter), artinya semua
peraturan dan kebijakan negara berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.
Fungsi dan Tujuan Negara
Fungsi negara dapat dikatakan sebagai tugas daripada negara. Negara sebagai
organisasi kekuasaan dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Beberapa ahli
merumuskan fungsi negara sebagai berikut:
a. John Locke, membedakan fungsi negara menjadi tiga fungsi, yaitu: 1) Fungsi
legislatif, yaitu membuat peraturan, 2) fungsi eksekutif, yaitu melaksanakan
peraturan, dan 3) fungsi federatif, yaitu mengurusi urusan luar negeri dan
urusan perang dan damai.
b. Montesquieu, mengemukakan tiga fungsi negara, yaitu: 1) fungsi legilsatif, yaitu
membuat undang-undang; 2) fungsi eksekutif, yaitu melaksanakan undangundang;
dan 3) fungsi yudikatif, yaitu untuk mengawasi agar semua peraturan
ditaati (fungsi mengadili), yang popular dengan nama Trias Politica.
c. Van Vollenhoven, fungsi negara dibagi menjadi: 1) regeling (membuat
peraturan); 2) bestuuur (menyelenggarakan pemerintahan); 3) rechtspraak
(fungsi mengadili); 4) politie (fungsi ketertiban dan keamanan). Ajaran van
Vollenhoven ini dikenal dengan Catur Praja.
d. Goodnow, fungsi negara dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) policy making
(kebijaksaan negara untuk waktu tertentu, untuk seluruh masyarakat); dan 2)
policy executing (kebijaksanaan yang harus dilaksanakan untuk tercapainya
policy making). Ajaran Goodnow ini terkenal dengan sebutan Dwi Praja
(dichotomy).
e. Miriam Budiarjdjo, fungsi pokok negara adalah:
 Melaksanakan penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama
dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat. Dalam fungsinya
ini, dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.
 Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini
dijalankan dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang.
 Pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari
luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
 Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan
pengadilan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan fungsi negara sebagai
berikut:
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 30
 Pertahanan dan Keamanan: negara melindungi rakyat, wilayah dan pemerintahan
dari ancaman, tantangan, hambatan, gangguan.
 Pengaturan dan Ketertiban: membuat undang-undang, peraturan
pemerintah
 Kesejahteraan dan Kemakmuran: mengeksplorasi sda dan sdm untuk
kesejahteraan dan kemakmuran
 Keadilan menurut Hak dan Kewajiban: menciptakan dan menegakan hukum
dengan tegas dan tanpa pilih kasih.
Keseluruhan fungsi negara tersebut, diselenggarakan oleh negara untuk
mencapai tujuan negara. Menurut Roger H Soltou, tujuan negara adalah memungkinkan
rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.
Menurut Plato, tujuan negara adalah memajukan kesusilaan manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai makhluk sosial. Thomas Aquino dan Agustinus berpendapat
bahwa tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan
tenteram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Pemimpin negara
menjalankan kekuasaan hanyalah berdasarkan kekuasaan Tuhan. Sedangkan Harold J.
Laski, mengemukakan bahwa tujuan negara adalah menciptakan keadaan dimana
rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal.
Konstitusi
Istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia menurut Rukman Amanwinata (Chaidir,
2007:21) berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa
Belanda), “constitutionel” (bahasa Prancis), “verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio”
(bahasa Latin), “fundamental laws” (Amerika Serikat). Selain istilah konstitusi, dikenal
pula Undang-Undang Dasar (bahasa Belanda Grondwet). Perkataan wet diterjemahkan
menjadi undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar (Thaib, Jazim Hamidi, dan
Ni‟matul Huda, 2006:7).
Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan
menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka UUD dapat dipandang sebagai
lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara
beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. UUD menentukan cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama
dan menyesuaikan diri satu sama lain, UUD merekam hubungan-hubungan
kekuasaan dalam suatu negara. E.C.S Wade mengartikan UUD sebagai naskah yang
memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu
negara dan menentukan pokok-pokoknya cara kerja badan-badan tersebut (Dahlan
Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, 2006:9).
Terhadap istilah konstitusi dan UUD ini, L.J Van Apeldoorn telah
membedakan secara jelas. Menurutnya, Istilah UUD (grondwet) adalah bagian tertulis
dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis
maupun yang tidak tertulis. Sedangkan Sri Soemantri (1987:1) mengartikan konstitusi
sama dengan UUD.
Apa sebenarnya konstitusi itu? Menurut Brian Thompson (1997:3), secara
sederhana pertanyaan what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a
document which contains the rules for the operation of an organization”. Bagi setiap organisasi
kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu merupakan sesuatu yang niscaya,
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 31
terutama dalam organisasi yang berbentuk badan hukum (legal body, rechtspersoon).
Demikian pula negara, pada umumnya, selalu memiliki naskah yang disebut sebagai
konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Dalam pengertian modern, negara pertama yang dapat dikatakan menyusun
konstitusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah Amerika Serikat
(United States of America) pada tahun 1787. Sejak itu, hampir semua negara menyusun
naskah undang-undang dasarnya. Beberapa negara yang dianggap sampai sekarang
dikenal tidak memiliki Undang-Undang Dasar dalam satu naskah tertulis adalah
Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. Undang-Undang Dasar di ketiga negara ini tidak
pernah dibuat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari aturan dan
pengalaman praktik ketatanegaraan.
Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks
hukum tata negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood and
Jackson (Asshiddiqie, 2005) sebagai: a body of laws, customs and conventions that define the
composition and powers of the organs of the State and that regulate the relations of the various State
organs to one another and to the private citizen.
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian
peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan)
yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan
antara organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut
dengan warga negara.
Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena
kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana
mestinya. Constitutions, menurut Ivo D. Duchacek (Asshiddiqie, 2005), adalah “identify
the sources, purposes, uses and restraints of public power” (mengidentifikasikan sumbersumber,
tujuan-tujuan, penggunaan-penggunaan, dan pembatasan-pembatasan
kekuasaan umum). Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan
corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu pula, konstitutionalisme, seperti dikemukakan
oleh Friedrich (Asshiddiqie, 2005), didefinisikan sebagai “an institutionalised
system of effective, regularised restraints upon governmental action”. Dalam pengertian demikian,
persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan
mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.
Selain itu, terdapat pendapat beberapa sarjana terkait dengan pengertian dan
pemahaman tentang konstitusi. Pandangan beberapa sarjana mengenai konstitusi
dapat dikatakan berlainan satu sama lain. Ferdinand Lasalle (1825-1864), dalam bukunya
“Uber Verfassungswessen” (1862), membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:
1. Pengertian sosiologis dan politis (sociologische atau politische begrip). Konstitusi
dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam
masyarakat (de riele machtsfactoren), yaitu misalnya raja, parlemen, kabinet,
kelompok-kelompok penekan (preassure groups), partai politik, dan sebagainya.
Dinamika hubungan di antara kekuatan-kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya
apa yang dipahami sebagai konstitusi;
2. Pengertian juridis (juridische begrip). Konstitusi dilihat sebagai satu naskah
hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendisendi
pemerintahan negara. (Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh,
1991:73)
Ferdinand Lasalle sangat dipengaruhi oleh aliran pikiran kodifikasi, sehingga
menekankan pentingnya pengertian juridis mengenai konstitusi. Disamping sebagai
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 32
cermin hubungan antar aneka kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat (de riele
machtsfactoren), konstitusi itu pada pokoknya adalah apa yang tertulis di atas kertas
UUD mengenai lembaga-lembaga negara, prinsip-prinsip, dan sendi-sendi dasar
pemerintahan negara.
Ahli lain, yaitu Hermann Heller mengemukakan tiga pengertian konstitusi,
yaitu:
1. Die politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi dilihat dalam arti
politis dan sosiologis sebagai cermin kehidupan sosial-politik yang nyata
dalam masyarakat;
2. Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi dilihat dalam arti juridis sebagai
suatu kesatuan kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat;
3. Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah undangundang
dasar sebagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
(Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988:65)
Menurut Hermann Heller, UUD yang tertulis dalam satu naskah yang bersifat
politis, sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah merupakan salah satu bentuk
atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas, yaitu konstitusi yang
hidup di tengah-tengah masyarakat. Artinya, di samping konstitusi yang tertulis itu,
segala nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas, juga termasuk
ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh karena itu pula, dalam bukunya
“Verfassungslehre“, Hermann Heller membagi konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1. Konstitusi dalam pengertian sosial-politik. Pada tingkat pertama ini, konstitusi
tumbuh dalam pengertian sosial-politik. Ide-ide konstitusional dikembangkan
karena memang mencerminkan keadaan sosial politik dalam masyarakat yang
bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap ini dapat digambarkan sebagai
kesepakatan-kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam bentuk
hukum tertentu, melainkan tercerminkan dalam perilaku nyata dalam
kehidupan kolektif warga masyarakat;
2. Konstitusi dalam pengertian hukum. Pada tahap kedua ini, konstitusi sudah
diberi bentuk hukum tertentu, sehingga perumusan normatifnya menuntut
pemberlakuan yang dapat dipaksakan. Konstitusi dalam pengertian sosialpolitik
yang dilihat sebagai kenyataan tersebut di atas, dianggap harus berlaku
dalam kenyataan. Oleh karena itu, setiap pelanggaran terhadapnya haruslah
dapat dikenai ancaman sanksi yang pasti;
3. Konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis. Pengertian yang terakhir ini
merupakan tahap terakhir atau yang tertinggi dalam perkembangan pengertian
rechtsverfassung yang muncul sebagai akibat pengaruh aliran kodifikasi yang
menghendaki agar berbagai norma hukum dapat dituliskan dalam naskah
yang bersifat resmi. Tujuannya adalah untuk maksud mencapai kesatuan
hukum atau unifikasi hukum (rechtseineheid), kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudiging),
dan kepastian hukum (rechtszekerheid).
Namun, menurut Hermann Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit
maknanya hanya sebagai undang-undang dasar atau konstitusi dalam arti yang tertulis
sebagaimana yang lazim dipahami karena pengaruh aliran kodifikasi. Disamping
UUD yang tertulis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran
hukum masyarakat.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 33
UUD 1945: Konstitusi Indonesia dan Perubahannya
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, tercatat telah beberapa upaya
perubahan terhadap UUD 1945, antara lain: 1) pembentukan UUD, 2) penggantian
UUD, dan 3) perubahan dalam arti pembaruan UUD. Pada tahun 1945, Undang-
Undang Dasar 1945 dibentuk atau disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) sebagai hukum dasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tahun 1949,
ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federasi),
diadakan penggantian konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi
Republik Indonesia Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun 1950, ketika
bentuk Negara Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat menjadi Negara
Kesatuan, Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950 (Asshiddiqie, 2005).
Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun UUD baru sama sekali
dengan dibentuknya lembaga Konstituante yang secara khusus ditugaskan untuk
menyusun konstitusi baru. Setelah Konstituante terbentuk, diadakanlah persidanganpersidangan
yang sangat melelahkan mulai tahun 1956 sampai tahun 1959, dengan
maksud menyusun UUD yang bersifat tetap. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa
usaha ini gagal diselesaikan, sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan keputusannya yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang isinya antara lain membubarkan Konstituante dan menetapkan berlakunya
kembali UUD 1945 menjadi hukum dasar dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Perubahan dari UUDS Tahun 1950 ke UUD 1945 ini tidak ubahnya bagaikan
tindakan penggantian UUD juga. Karena itu, sampai dengan berlakunya kembali
UUD 1945 itu, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia modern belum pernah terjadi
perubahan dalam arti pembaruan UUD, melainkan baru perubahan dalam arti
pembentukan, penyusunan, dan penggantian UUD.
Perubahan dalam arti pembaruan UUD, baru terjadi setelah bangsa Indonesia
memasuki era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto berhenti
dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie, barulah pada tahun 1999 dapat diadakan
Perubahan terhadap UUD 1945 sebagaimana mestinya.
Perubahan Pertama ditetapkan oleh Sidang Umum Majelis Permusyawaratan
Rakyat pada tahun 1999, disusul dengan Perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan
Tahun 2000 dan Perubahan Ketiga dalam Sidang Tahunan Tahun 2001. Pada Sidang
Tahunan Tahun 2002, disahkan pula naskah Perubahan Keempat yang melengkapi
naskah-naskah Perubahan sebelumnya, sehingga keseluruhan materi perubahan itu
dapat disusun kembali secara lebih utuh dalam satu naskah UUD yang mencakupi
keseluruhan hukum dasar yang sistematis dan terpadu.
Kedua bentuk perubahan UUD seperti tersebut, yaitu penggantian dan
perubahan pada pokoknya sama-sama merupakan perubahan dalam arti luas.
Perubahan dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, dan begitu juga dari UUDS
Tahun 1950 ke UUD 1945 adalah contoh tindakan penggantian UUD. Sedangkan
perubahan UUD 1945 dengan naskah Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan
Keempat adalah contoh perubahan UUD melalui naskah Perubahan yang tersendiri.
Disamping itu, ada pula bentuk perubahan lain seperti yang biasa
dipraktekkan di beberapa negara Eropa, yaitu perubahan yang dilakukan dengan cara
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 34
memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah UUD. Cara terakhir ini, boleh jadi,
lebih tepat disebut sebagai pembaruan terhadap naskah lama menjadi naskah baru,
yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan tambahan materi baru
tersebut.
Berkenaan dengan prosedur perubahan UUD, dianut adanya tiga tradisi yang
berbeda antara satu negara dengan negara lain. Pertama, kelompok negara yang
mempunyai kebiasaan mengubah materi UUD dengan langsung memasukkan (insert)
materi perubahan itu ke dalam naskah UUD. Dalam kelompok ini dapat disebut,
misalnya, Republik Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya. Konstitusi Perancis,
misalnya, terakhir kali diubah dengan cara pembaruan yang diadopsikan ke dalam
naskah aslinya pada tanggal 8 Juli 1999 lalu, yaitu dengan mencantumkan tambahan
ketentuan pada Article 3, Article 4 dan ketentuan baru Article 53-273 naskah asli
Konstitusi Perancis yang biasa disebut sebagai Konstitusi Tahun 1958. Sebelum
terakhir diamandemen pada tanggal 8 Juli 1999, Konstitusi Tahun 1958 itu juga
pernah diubah beberapa kali, yaitu penambahan ketentuan mengenai pemilihan
presiden secara langsung pada tahun 1962, tambahan pasal mengenai
pertanggungjawaban tindak pidana oleh pemerintah yaitu pada tahun 1993, dan
diadakannya perluasan ketentuan mengenai pelaksanaan referendum, sehingga naskah
Konstitusi Perancis menjadi seperti sekarang. Keseluruhan materi perubahan itu
langsung dimasukkan ke dalam teks konstitusi.
Kedua, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan
penggantian naskah UUD. Di lingkungan negara-negara ini, naskah konstitusi sama
sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia dengan
Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Pada umumnya, negara-negara
demikian ini terhitung sebagai negara yang sistem politiknya belum mapan. Sistem
demokrasi yang dibangun masih bersifat jatuh bangun, dan masih bersifat „trial and
error‟. Negara-negara miskin dan yang sedang berkembang di Asia dan Afrika,
banyakyang dapat dikategorikan masih berada dalam kondisi demikian ini.
Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah konstitusi itu tidaklah
dianggap ideal. Praktek penggantian konstitusi itu terjadi semata-mata karena keadaan
keterpaksaan. Oleh karena itu, kita perlu menyebut secara khusus tradisi yang
dikembangkan oleh Amerika Serikat sebagai model ketiga, yaitu perubahan konstitusi
melalui naskah yang terpisah dari teks aslinya, yang disebut sebagai amandemen
pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Dengan tradisi demikian, naskah asli
UUD tetap utuh, tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi
melalui naskah tersendiri yang dijadikan addendum tambahan terhadap naskah asli
tersebut. Dapat dikatakan, tradisi perubahan demikian memang dipelopori oleh
Amerika Serikat, dan tidak ada salahnya negara-negara demokrasi yang lain, termasuk
Indonesia untuk mengikuti prosedur yang baik seperti itu. Perubahan UUD 1945
yang telah berlangsung empat kali berturut-turut sampai sekarang, sesungguhnya,
tidak lain juga mengikuti mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat itu.
Berkaitan dengan Perubahan UUD 1945, perubahan yang dilakukan telah
mengubah banyak hal dari aturan dasar kehidupan bernegara. Setelah empat kali
perubahan, sesungguhnya UUD 1945 sudah berubah sama sekali menjadi konstitusi
yang baru. Hanya nama saja yang dipertahankan sebagai Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan isinya sudah berubah secara
besar-besaran.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 35
Pada uraian berikut secara berturut-turut akan dijelaskan mengenai dasar
pemikiran, tujuan, dan dasar yuridis formal dari perubahan UUD 1945. Selanjutnya
akan diuraikan pula mengenai kesepakatan dasar dalam perubahan, awal perubahan,
jenis perubahan, dan hasil-hasil perubahan. Uraian akan dikhiri dengan penjelasan
tentang susunan dan sistematika UUD 1945 setelah perubahan (MPR RI, 2006:6-8).
1. Dasar Pemikiran
Dasar pemikiran dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain karena:
pertama, UUD 1945 membentuk struktur kenegaraan yang bertumpu pada kekuasaan
tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal itu
berakibat tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and
balances) pada lembaga-lembaga kenegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi kepada
MPR merupakan kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakanakan
tidak memiliki hubungan dengan rakyat. Kedua, UUD 1945 memberikan
kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden).
Sistem yang dianut UUD 1945 adalah dominan eksekutif (executive heavy), yakni
kekuasaan dominan di tangan Presiden. Pada diri Presiden terpusat kekuasaan untuk
menjalankan pemerintahan yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional. Hakhak
konstitusional tersebut lazim disebut hak prerogatif (antara lain memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi). Presiden juga memegang kekuasaan legislatif karena
memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Dua cabang kekuasaan negara yang
seharusnya dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda, tetapi
nyatanya berada di satu tangan (Presiden).
Ketiga, UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” sehingga
dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran (multitafsir). Misalnya Pasal 7 UUD 1945
(sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya
selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Rumusan pasal
tersebut dapat ditafsirkan lebih dari satu. Tafsir pertama bahwa presiden dan wakil
presiden dapat dipilih berkali-kali. Tafsir yang kedua bahwa presiden dan wakil
presiden itu hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak
boleh dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 Ayat (1) UD 1945 sebelum diubah)
yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Rumusan pasal ini pun dapat
mendatangkan tafsiran yang beragam, antara lain, orang Indonesia asli adalah warga
negara Indonesia yang lahir di Indonesia atau warga negara Indonesia yang orang
tuanya adalah orang Indonesia.
Keempat, UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada
kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. UUD
1945 menetapkan bahwa Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga
Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai dengan kehendaknya dalam
undang-undang.
Kelima, Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum
cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan
yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi
manusia, dan otonomi daerah. Hal itu membuka peluang bagi berkembangnya
praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945,
antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (check and balances)
antarlembaga negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 36
b. Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi
masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi sehingga tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
c. Pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan
demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasi
oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru
yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoly, dan monopsoni.
2. Tujuan Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945, mempunyai beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut:
a. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai
tujuan nasional dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila.
b. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan
perkembangan paham demokrasi.
c. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi
manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan
sesuai dengan cita-cita negara hukum yang dicita-citakan UUD 1945.
d. Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis
dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas,
sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) yang
lebih kuat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang
baru untuk mengakomodasi kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
e. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan
kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan
bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara
bagi eksistensi (keberadaan) negara dan demokrasi, seperti pengaturan
wilayah negara dan pemilihan umum.
g. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa
sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa
dan negara Indonesia.
3. Dasar Yuridis Formal Perubahan UUD 1945
Dalam melakukan perubahan UUD 1945, MPR berpedoman pada ketentuan
Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur prosedur perubahan UUD 1945. Naskah yang
menjadi objek perubahan adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta
dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959.
Sebelum melakukan perubahan UUD 1945, dalam sidang istimewa MPR
tahun 1998, MPR mencabut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum yang mengharuskan terlebih dahulu penyelenggaraan referendum secara
nasional dengan persyaratan yang demikian sulit sebelum dilakukan perubahan UUD
1945. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum ini tidak sesuai
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 37
dengan cara perubahan seperti diatur pada Pasal 37 UUD 1945. Maka sebelum
melakukan perubahan UUD 1945, MPR dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998
mencabut Ketetapan MPR tentang referendum tersebut.
4. Kesepakatan Dasar dalam Perubahan UUD 1945
Sebelum melakukan perubahan terhadap UUD 1945 MPR melalui Panitia Ad
Hoc I telah menyusun kesepakatan dasar sebagai berikut: Pertama, Tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945. Hal ini karena, 1) Pembukaan UUD 1945 memuat dasar
filosofis dan normatif yang mendasari seluruh pasal dalam UUD 1945, dan 2)
Pembukaan UUD 1945 mengandung staatidee berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), tujuan negara, dan dasar negara yang haus tetap dipertahankan.
Kedua, Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
didasari bahwa negara kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak awal berdirinya
negara Indonesia, dan negara kesatuan dipandang paling tepat untuk mewadahi ide
persatuan sebuah bangsa yang majemuk. Ketiga, Mempertegas sistem pemerintahan
presidensial, dengan maksud untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil
dan demokratis, dan karena sistem pemerintahan presidensial ini sejak tahun 1945
telah dipilih oleh pendiri negara (founding fathers).
Keempat, Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh). Peniadaan Penjelasan UUD 1945
dimaksudkan untuk menghindarkan kesulitan dalam menentukan status “Penjelasan”
dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Selain itu,
Penjelasan UUD 1945 bukan merupakan produk BPUPKI maupun PPKI, karena
kedua lembaga itu menyusun rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh (pasal-pasal)
UUD 1945 tanpa Penjelasan. Dan kelima, melakukan perubahan dengan cara
addendum, artinya Perubahan UUD 1945 itu dilakukan dengan tetap mempertahankan
naskah aslinya. Dan Naskah perubahan-perubahan UUD 1945 diletakkan melekat
pada naskah asli.
5. Awal Perubahan UUD 1945
Tuntutan reformasi yang menghendaki agar UUD 1945 diamandemen,
sebenarnya telah diawali dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Pada forum
permusyawaratan MPR yang pertama kalinya diselenggarakan pada era reformasi,
MPR telah menerbitkan tiga ketetapan MPR. Ketetapan itu memang tidak secara
langsung mengubah UUD 1945, tetapi telah menyentuh muatan UUD 1945. Pertama,
Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Ketetapan MPR tenang Referendum
itu menetapkan bahwa sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 harus
dilakukan referendum nasional untuk meminta pendapat rakyat yang disertai dengan
persyaratan yang demikian sulit.
Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa
Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
 Ketentuan Pasal 1 dari Ketetapan itu berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan”.
 Ketentuan MPR yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
itu secara substansial sesungguhnya telah mengubah UUD 1945, yaitu
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 38
mengubah ketentuan Pasal 7 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”.
Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. Terbitnya Ketetapan itu juga dapat dilihat sebagai penyempurnaan
ketentuan mengenai hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945, seperti Pasal
27, Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2).
Berdasarkan uraian tersebut, tampak bahwa ketiga Ketetapan MPR itu secara
substansial telah mengubah UUD 1945. Perubahan yang dilakukan berkenaan dengan
pencabutan ketentuan tentang referendum, pembatasan masa jabatan Presiden dan
Wakil Presiden, dan penyempurnaan ketentuan mengenai HAM. Itulah sebabnya
bahwa ketentuan yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR itu dipandang sebagai awal
perubahan UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 dilakukan sesuai dengan peraturan dan melalui
beberapa tingkatan pembicaraan. Proses perubahan UUD 1945 mengikuti ketentuan
Pasal 92 Peraturan Tata Tertib MPR mengenai tingkat-tingkat pembicaraan dalam
membahas dan mengambil putusan terhadap materi sidang MPR. Tingkat-tingkat
pembicaraan sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal tersebut adalah sebagai
berikut:
Tingkat I Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan-bahan yang
masuk dan hasil dari pembahasan tersebut merupakan rancangan
putusan majelis sebagai bahan pokok Pembicaraan Tingkat II.
Tingkat II Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang didahului oleh penjelasan
Pimpinan dan dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi-fraksi.
Tingkat III Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis terhadap semua hasil
Pembicaran Tingkat I dan II. Hasil pembahasan pada Tingkat III ini
merupakan rancangan putusan Majelis.
Tingkat IV Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna Majelis setelah mendengar
laporan dari inginan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana perlu
dengan kata akhir dari fraksi-fraksi.
6. Jenis Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945 tidak dimaksudkan untuk mengganti UUD 1945. Oleh
karena itu jenis perubahan yang dilakukan oleh MPR adalah mengubah, membuat
rumusan baru sama sekali, menghapus atau menghilangkan, memindahkan tempat
pasal atau ayat sekaligus mengubah penomoran pasal atau ayat seperti terurai dalam
beberapa contoh berikut.
Jenis Perubahan Contoh
Mengubah rumusan
yang telah ada
Pasal 2 (sebelum perubahan)
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerahdaerah
dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan
undang-undang.
Pasal 2 (setelah perubahan)
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Membuat rumusan
baru sama sekali
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 39
langsung oleh rakyat.
Menghapuskan/mengh
ilangkan rumusan yang
ada.
Sebagai contoh, ketentuan Bab IV Dewan Pertimbangan Agung,
dihapus.
Memindahkan rumusan
pasal ke dalam
rumusan ayat atau
sebaliknya.
Pasal 34 (sebelum perubahan)
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Pasal 34 (setelah perubahan)
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Pasal 23 (sebelum perubahan)
(1) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 23B (sesudah perubahan)
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
7. Hasil Perubahan UUD 1945
Setelah melalui tingkat-tingkat pembicaraan sesuai dengan ketentuan Pasal 92
Peraturan Tata Tertib MPR, dalam beberapa kali sidang MPR telah mengambil
putusan empat kali perubahan UD 1945 dengan perincian sebagai berikut.
 Perubahan Pertama UUD 1945 hasil Sidang Umum MPR tahun 1999 (tanggal 14
sampai dengan 21 Oktober 1999).
 Perubahan Kedua UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2000 (tanggal 7
sampai dengan 18 Agustus 2000).
 Perubahan Ketiga UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2001 (tanggal 1
sampai dengan 9 Nopember 2001).
 Perubahan Keempat UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2002 (tanggal
1 sampai dengan 11 Agustus 2002).
Setelah disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 pada Sidang Tahunan
MPR tahun 2002, agenda reformasi konstitusi Indonesia untuk kurun waktu sekarang
dipandang telah tuntas. Secara lengkap, peta perubahan UUD 1945 dapat
diperhatikan pada tabel berikut.
Tabel Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945 No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Perubahan Pertama:
Pasal-pasal yang diubah
sebanyak 9 pasal, yaitu
pasal
5,7,9,13,14,15,17,20, dan
21.
Beberapa perubahan
penting adalah pasal
5,7,14, dan 20.
1 Pasal 5 Ayat (1): Presiden
memegang kekuasaan
membentuk undangundang
dengan persetujuan
DPR.
Presiden berhak
mengajukan rancangan
undang-undang kepada
DPR.
2. Pasal 7 : Presiden dan
Wakil Presiden memegang
jabatannya selama lima
tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali.
Presiden dan Wakil
Presiden memegang
jabatan selama lima tahun,
dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam
jabatan yang sama, hanya
untuk satu kali masa
jabatan.
3. Pasal 14: Presiden memberi
grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi.
(1) Presiden memberi
grasi dan rehabilitasi
dengan
memperhatikan
pertimbangan
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 40
Perubahan UUD 1945 No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi
amnesti dan abolisi
dengan
memperhatikan
pertimbangan DPR.
4. Pasal 20 Ayat (1): Tiap-tiap
undang-undang
menghendaki persetujuan
DPR.
DPR memegang
kekuasaan membentuk
undang-undang.
Perubahan Kedua:
Pasal-pasal yang diubah
sebanyak 10 pasal, yaitu
pasal
18,19,20,22,25,26,27,28,
30, dan 36.
Beberapa perubahan
penting adalah pasal
26,28.
1. Pasal 26 Ayat (2): Syaratsyarat
yang mengenai
kewarganegaraan
ditetapkan dengan undangundang.
Penduduk ialah warga
negara Indonesia dan
orang asing yang
bertempat tinggal di
Indonesia.
2. Pasal 28: yang memuat 3
hak asasi manusia.
Diperluas menjadi memuat
13 hak asasi manusia.
Perubahan Ketiga:
Pasal-pasal yang diubah
sebanyak 10 pasal, yaitu
pasal
1,3,6,7,8,11,17,22,23,dan
24.
Beberapa perubahan
yang penting adalah
pasal 1 Ayat (2), pasal 6
Ayat (1), dan pasal 24.
1. Pasal 1 Ayat (2):
Kedaulatan ada di tangan
rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR.
Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut
UUD.
2. Pasal 6 Ayat (1): Presiden
ialah orang Indonesia asli.
Calon Presiden dan Wakil
Presiden harus warga
negara Indonesia sejak
kelahirannya.
Ditambah Pasal 6A:
Presiden dan Wakil
Presiden harus warga
negara Indonesia sejak
kelahirannya.
3. Pasal 24 tentang kekuasaan
kehakiman.
Ditambah sebagai berikut:
Pasal 24 B: Komisi
Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang
mengusulkan
pengangkatan hakim
agung.
Pasal 24C: Mahkamah
Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final
untuk menguji undangundang
terhadap UUD.
Perubahan Keempat.
Pasal-pasal yang diubah
1. Pasal 2 Ayat (1): MPR
terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat
MPR terdiri atas Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Anggota
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 41
Perubahan UUD 1945 No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
berjumlah 13, yaitu pasal
2,3,6,8,16,23,24,31,32,34,
37,
Aturan Peralihan, dan
Aturan Tambahan.
Beberapa perubahan
yang penting adalah
pasal 2 Ayat (1), Bab IV
Pasal 16, dan Aturan
Peralihan.
ditambah dengan utusanutusan
dari daerah-daerah
dan golongan-golongan
menurut aturan yang
ditetapkan dengan undangundang.
Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) yang dipilih melalui
pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
2. Bab IV Pasal tentang
Dewan Pertimbangan
Agung.
DPA dihapus, diganti
menjadi: Presiden
membentuk suatu dewan
pertimbangan yang
bertugas memberikan
nasihat dan pertimbangan
kepada presiden, yang
selanjutnya diatur dengan
undang-undang.
3. Aturan Peralihan Pasal III:
Mahkamah Konstitusi
dibentuk selambatlambatnya
pada tanggal 17
Agustus 2003 dan sebelum
dibentuk segala
kewenangannya dilakukan
oleh Mahkamah Agung.
8. Susunan UUD 1945 setelah Perubahan
Sebagaimana diketahui, perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara
adendum. Setelah mengalami empat tahap perubahan dalam suatu rangkaian kegiatan,
UUD 1945 memiliki susunan sebagai berikut.
 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 naskah asli;
 Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
 Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
 Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
194;
 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Untuk memudahkan pemahaman secara urut, lengkap, dan menyeluruh
UUD 1945 juga disusun dalam satu naskah yang berisikan Pasal-pasal dari Naskah
Asli yang tidak berubah dan Pasal-pasal dari empat naskah hasil perubahan. Namun,
susunan Undang-Undang Dasar dalam satu naskah itu bukan merupakan naskah
resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedudukannya hanya sebagai risalah sidang dalam rapat paripurna Sidang Tahunan
MPR tahun 2002.
9. Sistematika UUD 1945
Ada yang perlu kita perhatikan dengan seksama, bahwa walaupun UUD 1945
disusun dalam suatu naskah, hal itu sama sekali tidak mengubah sistematika UUD
1945. Secara penomoran tetap terdiri atas 16 bab dan 37 pasal dan perubahan bab
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 42
dan pasal ditandai dengan penambahan huruf (A, B, C, dan seterusnya) di belakang
angka bab atau pasal. Penomoran UUD 1945 yang tetap tersebut sebagai
konsekuensi logis dari pilihan melakukan perubahan UUD 1945 dengan cara adendum
(tetap mempertahankan naskah aslinya, perubahan diletakkan melekat pada naskah
asli).
Ditinjau dari aspek sistematika, UUD 1945 hasil perubahan berbeda dengan
UUD 1945 sebelum perubahan. UUD 1945 sebelum diubah terdiri atas tiga bagian
(termasuk penamaannya), yaitu:
 Pembukaan (Preambul);
 Batang Tubuh;
 Penjelasan.
Setelah diubah, UUD 1945 terdiri atas dua bagian, yaitu:
 Pembukaan;
 Pasal-pasal (sebagai pengganti istilah Batang Tubuh).
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan mencakup 21 bab, 73 pasal, dan 170
ayat, 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Setelah diubah, UUD
1945 terdiri atas 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan serta 2 pasal
Aturan Tambahan. Lihat tabel di bawah ini.
Tabel UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
No Naskah UUD 1945 Bab Pasal Ayat
Aturan
Peralihan
Aturan
Tambahan
1 Sebelum
Perubahan
16 37 49 4 pasal 2 ayat
2 Sesudah
Perubahan
21 73 170 3 pasal 2 pasal
MPR telah melakukan perubahan UD 1945 sebagai pelaksanaan salah satu
tuntutan reformasi. Para perumus perubahan UUD 1945 di MPR melakukan
perubahan melalui pembahasan yang mendalam, teliti, cermat, dan menyeluruh.
Selain itu, para perumus perubahan UUD 1945 juga senantiasa mengajak dan
mengikutsertakan berbagai kalangan masyarakat dan penyelenggara negara untuk
berpartisipasi aktif memberikan masukan dan tanggapan. Maka boleh dikatakan
bahwa perubahan UUD 1945 itu telah dilakukan oleh bangsa dan negara Indonesia.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 43
BAB 6
Hak Asasi Manusia
Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Dalam pengertian yang sederhana Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang
secara alamiah melekat pada orang semata-mata karena ia merupakan manusia (human
being). HAM meliputi nilai-nilai ideal yang mendasar, yang tanpa nilai-nilai dasar itu
orang tidak dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Penghormatan terhadap nilai-nilai dasar itu memungkinkan individu dan masyarakat
bisa berkembang secara penuh dan utuh. HAM tidak diberikan oleh negara atau tidak
pula lahir karena hukum. HAM berbeda dengan hak biasa yang lahir karena hukum
atau karena perjanjian. Dalam pembahasannya tentang pengertian HAM, Jan
Materson, anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB merumuskan HAM dalam
ungkapan berikut: “human rights could be generally defines as those right which area inherent in
our natural and without we can‟t live as human being”. (HAM adalah hak-hak yang secara
inheren melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup
sebagai manusia) (Asykuri Ibnu Chamim, 2000:371).
Dari pengertian di atas, dapat dikemukakan dua makna yang terkandung
dalam pengertian HAM, yaitu: Pertama, HAM merupakan hak alamiah yang melekat
dalam diri setiap manusia sejak ia dilahirkan ke dunia. Hak alamiah adalah hak yang
sesuai dengan kodrat manusia sebagai insan merdeka yang berakal budi dan
berperikemanusiaan. Karena itu, tidak ada seorang pun yang diperkenankan
merampas hak tersebut dari tangan pemiliknya, dan tidak ada kekuasaan apapun yang
memiliki keabsahan untuk memperkosanya. Hal ini tidak berarti bahwa HAM bersifat
mutlak tanpa pembatasan, karena batas HAM seseorang adalah HAM yang melekat
pada orang lain. Bila HAM dicabut dari tangan pemiliknya, manusia akan kehilangan
eksistensinya sebagai manusia. Kedua, HAM merupakan instrumen untuk menjaga
harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodrat kemanusiaannya yang luhur.
Tanpa HAM manusia tidak akan dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia. Dikatakan HAM
menurut Ahmad Sanusi (2006:201) ialah karena hak-hak itu bersumber pada sifat
hekekat manusia sendiri yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. HAM itu bukan
karena diberikan oleh negara atau pemerintah. Karena itu, hak-hak itu tidak boleh
dirampas atau diasingkan oleh negara dan oleh siapa pun.
Dengan demikian, maka HAM bukan sekedar hak-hak dasar yang dimiliki
oleh setiap manusia sejak dilahirkannya ke dunia, tetapi juga merupakan standar
normatif yang bersifat universal bagi perlindungan hak-hak dasar itu dalam lingkup
pergaulan nasional, regional dan global. Esensi itu dapat dilihat dalam Mukaddimah
Universal Declaration of Human Rights yang menyebutkan bahwa pengakuan atas
martabat yang luhur dan hak-hak yang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota
keluarga manusia, karena merupakan dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian
dunia.
Dalam konteks Indonesia, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai berikut:
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 44
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang
sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan
manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu
oleh siapa pun.
Dengan demikian, maka setiap manusia memiliki hak asasi sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi tersebut tidak boleh diabaikan, dirampas atau
diganggu oleh siapa pun karena hak asasi tersebut berfungsi untuk menjamin
kelangsungan hidup manusia, kemerdekaan manusia, perkembangan manusia dan
masyarakat. Apabila ada perlakuan yang mengabaikan, merampas atau mengganggu
hak asasi seseorang, berarti ia telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi
seseorang.
Sedangkan berdasarkan rumusan Pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, HAM diartikan sebagai berikut:
Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakaan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Dari rumusan HAM di atas dapat dikemukakan bahwa di balik adanya hak
asasi yang perlu dihormati mengandung makna adanya kewajiban asasi dari setiap
orang. Kewajiban asasi yang dimaksud menurut Sapriya dan Udin S. Winataputra
(2003: 137) adalah kewajiban dasar manusia yang ditekankan dalam undang-undang
tersebut sebagai seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM.
HAM mempunyai sejumlah karakteristik yang menonjol. James W. Nickel
(1996) mengidentifikasi sedikitnya enam karakteristik HAM, yaitu: Pertama, HAM
adalah hak. Makna istilah ini menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti
dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib. Kedua, hak-hak ini
dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah
manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik
seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak
relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki HAM.
Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah
satu ciri khusus dari HAM yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak
internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek
perhatian dan aksi internasional yang sah.
Ketiga, HAM dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada
pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negaranegara
tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai
ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan
kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya.
Keempat, HAM dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak
seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, HAM cukup kuat kedudukannya
sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan
norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi
internasional yang dilakukan demi HAM. Hak-hak yang dijabarkan di dalam
Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 45
Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian
HAM yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut
sebagai prima facie rights.
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun
pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan
dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan
terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan
untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut
mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkahlangkah
positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.
Dan terakhir, keenam, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek
kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari
kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem HAM.
Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional
bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup
memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah
menjadi persoalan HAM.
Kategori Hak Asasi Manusia
Dalam tataran global, hak-hak asasi manusia paling tidak dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori, yaitu HAM yang masuk dalam 1) kategori hak-hak sipil dan
politik; 2) kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; serta 3) kategori hak-hak
solidaritas (solidarity rights). Hak-hak sipil dan politik sering pula disebut sebagai “first
generation of rights”, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai “second generation of
rights”, sedangkan hak-hak solidaritas merupakan “the third generation of rights”. Hakhak
sipil dan politik diatur dalam beberapa pasal UDHR (Universal Declaration of
Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, disingkat DUHAM)
dan dalam ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights, atau Kovenan
Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik). Hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya diatur dalam beberapa pasal DUHAM, dan diatur secara khusus dalam
ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, atau Kovenan
Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Sedangkan hak-hak
solidaritas, utamanya hak atas pembangunan, tercantum dalam Resolusi Majelis
Umum PBB, tahun 1986, dan kemudian dalam Deklarasi HAM Dunia di Wina, tahun
1993.
Kiranya sejak awal perlu dikemukakan bahwa penggolongan atau kategorisasi
seperti yang dikemukakan di atas tidaklah bermaksud untuk mengkotak-kotakan
HAM, apalagi mengkotak-kotak sesuai dengan urutan prioritas. Kategori-kategori
sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya antara hak-hak sipil di satu pihak dan
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di lain pihak sebenarnya merupakan akibat dari
polarisasi politik dunia ketika dua instrumen HAM (ICCPR dan ICSCR) dibuat oleh
PBB. Kalau kategori-kategori itu masih digunakan, tidak lain hanyalah untuk
keperluan praktis demi lebih mudah mengidentifikasi dan memahami hak-hak asasi
yang melekat pada manusia itu, bukan untuk memisah-misahkan satu dengan yang
lainnya, karena sebagaimana akan dikemukakan kemudian, semua HAM itu tidak
dapat dipisahkan dan saling bergantung.
Adanya kebutuhan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan hukum yang
bersifat global yang mengatur dan menjamin penghormatan dan penegakan HAM
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 46
sebenarnya terutama lahir dari kesadaran historis akibat Perang Dunia II. Tragedi
kemanusiaan, terutama pengabaian terhadap nilai-nilai HAM yang paling mendasar
yang terjadi selama Perang Dunia II, menghentakkan kesedaran bangsa-bangsa di
dunia, bahwa persoalan HAM tidak bisa diserahkan atau dianggap sebagai masalah
internal suatu negara semata. Demi tegaknya harkat dan martabat manusia dan
langgengnya perdamaiaan dunia, masalah HAM lalu “diangkat” menjadi masalah yang
harus dipikirkan bersama oleh segenap masyarakat bangsa, baik dalam hal
penghormatan dan pemenuhannya maupun dalam hal penegakannya. Hal ini
terefleksi dalam beberapa pasal Piagam PBB, yaitu dalam pasal 1 ayat (3), pasal 55
dan pasal 56. Ketentuan-ketentuan ini sekaligus memberikan mandat kepada PBB
untuk membuat instrumen-instrumen hukum HAM, mulai dari DUHAM, lalu
disusul ICCPR dan ICESCR, dan kemudian banyak lagi instrumen hukum lain di
bidang HAM.
Hak-hak sipil terkait dengan “hak atas integritas/harkat fisik” (physical integrity
rights), seperti hak atas kehidupan dan perlindungan dari penyiksaan dan hak atas
“prosedur hukum yang adil” seperti hak atas peradilan yang jujur dan fair, praduga
tidak bersalah, dan hak untuk diwakili secara hukum). Hak-hak ini diatur dalam pasal
1 sampai pasal 18 DUHAM, dan diatur lebih lanjut dalam ICCPR). Hak-hak politik
termasuk kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, dan hak untuk
memberikan suara dalam pemilu yang bebas dan rahasia. Hak-hak ini diatur dalam
Pasal 19 sampai pasal 21 DUHAM dan pasal 18, 19, 21, 22 dan 25 ICCPR.
Apabila dicermati, ICCPR memuat ketentuan mengenai pembatasan
penggunaan kewenangan oleh aparat negara; sehingga hak-hak yang diatur dan
dijamin di dalamnya sering juga disebut sebagai hak-hak negatif. Artinya bahwa untuk
menjamin terlaksana dan dipenuinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diatur
di dalamnya, maka negara dituntut untuk tidak melakukan intervensi apa pun, atau
peran negara harus dibatasi sampai ke tingkat minimal. Intervensi atau pembatasan
oleh negara terhadap hak-hak yang diatur dalam ICCPR ini hanya dimungkinkan
untuk beberapa hak dan hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat.
Berkaitan dengan hal di atas maka dikenal pula pembedaan antara non-derogable
rights (hak-hak yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya) dan derogable rights (hak-hak
yang bisa dikurangi pemenuhannya). Non-derogable rights adalah hak-hak yang bersifat
absolut yang tidak boleh dibaikan, dilanggar atau dikurangi pemenuhannya walaupun
dalam keadaan darurat sekali pun. Termasuk dalam hak-hak ini adalah: hak atas hidup
(rights to life); hak bebas dari penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi (rights to be free
from torture and inhuman treatment); hak tahanan untuk diperlakukan secara manusiawi;
hak untuk bebada perbudakan dan kerja paksa (rights to be free from slavery); hak atas
pengakuan yang sama di hadapan hukum; hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan
agama; hak untuk bebas dari pemidanaan yang berlaku surut. Bila negara melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak yang termasuk dalam kategori non-derogable ini, negara
itu bisa dituduh atau dikecam telah melakukan pelanggaran serius HAM (gross violation
of human rights).
Derogable rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya oleh negara. Namun pembatasan atau pengurangan tsb hanya dapat
dilakukan apabila sebanding dengan ancaman atau situasi darurat yang dihadapi dan
tidak diterapkan secara diskriminatif. Alasan-alasan untuk pengurangan atau
pembatasan tersebut, meliputi: 1) menjaga kemananan atau ketertiban umum; 2)
menjaga kesehatan atau moralitas umum; dan 3) menjaga hak dan kebebasan orang
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 47
lain. Hak-hak yang termasuk dalam kategori ini terdiri atas: 1) hak atas kebebasan
berkumpul; 2) hak untuk berserikat; 3) kekebasan untuk berpendapat dan
berekspresi; 4) kebebasan berpindah dan memilih domisili; 5) kebebasan bagi warga
negara asing.
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terkait dengan kesejahteraan material, sosial
dan budaya, dan mula-mula diatur dalam pasal 16, 22 sampai pasal 29 DUHAM, dan
lebih lanjut diatur dalam ICESCR. Hak-hak yang termasuk dalam kategori hak
ekonomi, sosial dan budaya ini, meliputi: hak untuk bekerja termasuk hak atas
kondisi kerja yang aman dan sehat, upah yang adil, bayaran yang sama untuk
pekerjaan yang sama, hak atas pemilikan, hak untuk mendirikan dan bergabung
dengan serikat pekerja, termasuk hak untuk melakukan pemogokan, hak atas jaminan
sosial, hak atas standar hidup yang layak, hak atas pendidikan, pendidikan dasar wajib
dan bebas bagi semua, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan
penikmatan keuntungan kemajuan ilmu pengetahuan. Hak-hak ini sering disebut
sebagai “hak-hak positif”, karena tidak seperti dalam hak-hak sipil dan politik, dalam
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini, negara harus berperan atau mengambil
langkah-langkah positif untuk menjamin terpenuhinya hak-hak ini, seperti tersedianya
perumahan, sandang, pangan, lapangan kerja, pendidikan, dsb. Negara justru akan
dianggap melakukan pelanggaran terhadap hak-hak ini apabila tidak berperan secara
aktif atau menunjukkan peran minus.
Dalam beberapa tahun terkahir, hak-hak solidaritas (solidarity rights) diakui
keberadaannya, meliputi hak atas perdamaian, hak atas lingkungan, dan hak atas
pembangunan. Hak atas pembangunan, khususnya, telah dicantumkan dalam
Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1986. Hak atas pembangunan bisa didefinisikan
sebagai “hak setiap orang dan setiap bangsa untuk berpartisipasi, memberikan
kontribusi dan memperoleh manfaat dari pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan
politik. Jadi, subjek hak ini adalah individu dan bangsa.
Prinsip-prinsip Pokok Hak Asasi Manusia
Ada beberapa prinsip pokok yang terkait dengan penghormatan, pemenuhan,
pemajuan dan perlindungan HAM. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip universal, bahwa HAM itu berlaku bagi semua orang, apa pun jenis
kelaminnya, statusnya, agamanya, suku bangsa atau kebangsaannya;
2. Prinsip tidak dapat dilepaskan (inalienable), siapa pun, dengan alas apa pun,
tidak dapat dan tidak boleh mencerabut atau mengambil hak asasi seseorang.
Seseorang tetap mempunyai hak asasinya kendati hukum di negaranya tidak
mengakui dan menghormati hak asasi orang itu, atau bahkan melanggar hak
asasi tersebut. Contohnya, ketika di suatu negara dipraktekkan perbudakan,
budak-budak tetap mempunyai hak-hak asasi, kendati hak-haknya itu
dilanggar.
3. Prinsip tidak dapat dipisahkan (indivisible), bahwa hak-hak sipil dan politik,
maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak pembangungan, tidak
dapat dipisah-pisahkan, baik dalam penerapan, pemenuhan, pemantauan
maupun penegakannya.
4. Prinsip saling tergantung (inter-dependent), bahwa disamping tidak dapat
dipisahkan, hak-hak asasi itu saling tergantung satu sama lainnya, sehingga
pemenuhan hak asasi yang satu akan mempengaruhi pemenuhan hak asasi
lainnya. Contohnya, kurang berjalannya hak-hak sipil dan politik, bisa
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 48
menjuruskan suatu negara ke pemerintahan yang otoriter dan korup; pada
gilirannya, pemerintahan yang otoriter dan korup bisa menjerumuskan negara
pada ketertinggalan di bidang ekonomi, yang akhirnya bisa bermuara pada
kemiskinan (tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi). Oleh karena itu, prinsip
ini sekaligus mengakhiri perdebatan mengenai prioritas pemenuhan dan
pemajuan HAM, dimana beberapa negara semula berpandangan bahwa suatu
kategori HAM tertentu harus mendapatkan prioritas terlebih dahulu
dibandingkan dengan kategori HAM lainnya.
5. Prinsip keseimbangan, bahwa (perlu) ada keseimbangan dan keselarasan di
antara HAM perorangan dan kolektif di satu pihak dengan tanggung jawab
perorangan terhadap individu yang lain, masyarakat dan bangsa di pihak
lainnya. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk individu dan
mahluk sosial. Keseimbangan dan keselarasan antara kebebasan dan tanggung
jawab merupakan faktor penting dalam penghormatan, pemajuan,
pemenuhan dan perlindungan HAM;
6. Prinsip partikularisme, bahwa kekhususan nasional dan regional serta
berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama adalah sesuatu yang
penting dan harus terus menjadi pertimbangan. Namun, hal ini tidak serta
merta menjadi alasan untuk tidak memajukan dan melindungi HAM, karena
“adalah tugas semua negara, apa pun sistem politik, ekonomi dan budayanya,
untuk memajukan dan melindungi semua HAM.
Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia
Terwujudnya Universal Declaration of Human Rights yang dinyatakan pada tanggal 10
Desember 1948 ditempuh melalui proses yang cukup panjang. Sebelum terwujudnya
deklarasi tersebut, terdapat beberapa dokumen yang memperjuangkan penegakan
HAM di muka bumi, yaitu sebagai berikut:
1. Piagam Magna Charta. Dideklarasikan di Inggris tahun 1512. Magna Charta
merupakan cikal bakal (embrio) HAM. Piagam ini membatasi kekuasaan Raja
John yang absolut. Dengan piagam ini, raja bisa dimintai
pertanggungjawabannya di muka hukum dan raja harus bertanggung jawab
kepada parlemen. Walaupun demikian, raja tetap berwenang membuat
Undang-Undang.
2. Dokumen Bill of Rights. Perkembangan yang lebih konkret tentang HAM
terjadi setelah lahirnya piagam ini di Inggris pada tahun 1689. Piagam ini
ditandatangani Raja William III. Inti piagam ini menyatakan bahwa “manusia
sama di muka hukum” (equality before the law). Paham inilah yang menjadi
embrio Negara hukum, demokrasi, dan persamaan.
3. Declaration of Independence. Perkembangan HAM yang lebih modern ditandai
dengan lahirnya piagam ini, yakni deklarasi kemerdekaan Amerika dari tangan
Inggris tahun 1776. Piagam ini disusun oleh Thomas Jefferson yang
bersumber dari ajaran Montesquieu. Deklarasi ini menekankan pentingnya
kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Dr. Sun Yat Sen menggunakan asas
ini di Tiongkok, yang dikenal sebagai min tsu, min chuan, dan min seng.
4. Declaration des Droits de I‟lhomme er du Citoyen. Piagam ini merupakan Piagam
Hak Asasi Manusia dan Warga Negara yang dideklarasikan di Prancis, tahun
1789. Piagam ini banyak dipengaruhi oleh Declaration of Independence
karena jasa Lafayette, seorang jenderaldari Prancis yang ikut berperang di
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 49
Amerika pada waktu negeri tersebut membebaskan diri dari penjajah Inggris.
Sekembalinya ke Prancis, Lafayette berjuang untuk melahirkan Piagam Hak
Asasi Manusia dan Warga Negara di negerinya. Piagam ini merupakan dasar
dari rule of law yang melarang penangkapan secara sewenang-wenang.
Disamping itu, piagam ini pun menekankan pentingnya asas praduga tak
bersalah (presumption of innocence), kebebasan berekspresi (freedom of expression),
dan kebebasan beragama (freedom of religion), serta adanya perlindungan
terhadap hak milik (the right of property).
5. UUD 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan, ditetapkanlah UUD yang dikenal sebagai
UUD 1945. Pada alinea pertama ditegaskan sebagai berikut: “bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,…”.
6. The Universal Declaration of Human Rights. Pada Perang Dunia II, Presiden
Amerika Serikat, Roosevelt, mendeklarasikan The Four Freedom, antara lain
bebas berpendapat dan berekspresi (freedom of speech and expression) serta bebas
dari ketakutan (freedom for fear). Deklarasi Roosevelt inilah yang menjadi dasar
lahirnya Piagam HAM PBB, yakni The Universal Declaration of Human Rights.
Piagam tersebut dihasilkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada
sidangnya tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi tersebut akhirnya diterima
secara resmi dalam Sidang Umum PBB.
Keberhasilan diterimanya Universal Declaration of Human Rights diikuti oleh
keberhasilan diterimanya suatu perjanjian (Convention) mengenai Genocide (1948),
tentang Kerja Paksa (1957), tentang Diskriminasi Gender (1951 dan 1962), dan
Diskriminasi berdasarkan ras (1965). Pada tahun 1966, secara aklamasi diterima pula
suatu perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights) dan perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Covenant on
Civil and Political Rights).
SKEMA Sejarah Perkembangana HAM
Sumber: Halili (2009)
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 50
Gagasan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945
UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya
memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian HAM. Pasal-pasal
yang biasa dinisbatkan dengan pengertian HAM itu adalah:
1. Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, ‟Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya‟;
2. Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan‟;
3. Pasal 28 yang berbunyi, „Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang‟;
4. Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, „Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu‟;
5. Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib
ikut sertta dalam usaha pembelaan negara‟;
6. Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran‟;
7. Pasal 34 yang berbunyi, „Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar diperlihara
oleh negara‟.
Namun, menurut Asshiddiqie (2008) jika diperhatikan dengan sungguhsungguh,
hanya 1 ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan
konstitusional atas HAM, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, „Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu‟. Sedangkan
ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan tentang HAM,
melainkan hanya ketentuan mengenai hak warga negara atau the citizens‟ rights atau
biasa juga disebut the citizens‟ constitutional rights. Apa bedanya? Hak konstitusional
warga negara hanya berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga negara,
sedangkan bagi orang asing tidak dijamin. Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap
penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraannya adalah Pasal 29 Ayat (2)
tersebut. Selain itu, Asshiddiqie (2008) juga menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 28
dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM. Akan tetapi, Pasal 28 UUD 1945
belum memberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas mengenai
adanya „kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta kemerdekaan mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan‟ bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan bahwa
hal ikhwal mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut dan jaminan
mengenai hal itu masih akan ditetapkan dengan undang-undang.
Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu Pasal 27 Ayat (1) dan (2), Pasal 30
Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 34, semuanya berkenaan dengan hak
konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga negara
asing. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa yang sungguh-sungguh berkaitan
dengan ketentuan HAM hanya satu saja, yaitu Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 51
Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Pasca Perubahan
Dewasa ini, setelah dilakukannya Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000,
ketentuan mengenai HAM dan hak-hak warga negara dalam UUD 1945 telah
mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi yang semula hanya berisi 7 butir
ketentuan yang juga tidak seluruhnya dapat disebut sebagai jaminan konstitusional
HAM, sekarang telah bertambah secara signifikan. Ketentuan baru yang diadopsikan
ke dalam UUD 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000 termuat dalam Pasal
28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di
beberapa pasal. Karena itu, menurut Asshiddiqie (2008) perumusan tentang HAM
dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan
UUD 1945 sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat
ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Pasal-pasal tentang HAM, terutama yang termuat dalam Pasal 28A sampai
dengan Pasal 28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi materi
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, untuk
memahami konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara lengkap dan historis,
ketiga instrumen hukum UUD 1945, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dapat dilihat dalam satu
kontinum. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang
hak-hak asasi manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistem hukum dan konstitusi
Indonesia itu berasal dari berbagai konvensi internasional dan deklarasi universal
tentang HAM serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya.
Setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000, keseluruhan materi ketentuan
hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, yang apabila digabung dengan berbagai
ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan HAM, dapat
kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan
(Asshiddiqie, 2008). Diantara keempat kelompok HAM tersebut, terdapat HAM yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights, yaitu:
1. Hak untuk hidup;
2. Hak untuk tidak disiksa;
3. Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4. Hak beragama;
5. Hak untuk tidak diperbudak;
6. Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan
7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Sedangkan keempat kelompok hak asasi manusia terdiri atas; kelompok
pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat
kemanusiaan;
3. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
4. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
5. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;
6. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 52
7. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan;
8. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut;
9. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah;
10. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
11. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya,
meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
12. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
13. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan
berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif tersebut.
Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi:
1. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan
pendapatnya secara damai dengan lisan dan tulisan;
2. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga
perwakilan rakyat;
3. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;
4. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan
layak bagi kemanusiaan;
5. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat
perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;
6. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;
7. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup
layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang
bermartabat;
8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
9. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan
pengajaran;
10. Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas
hidup dan kesejahteraan umat manusia;
11. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak
masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban
bangsa-bangsa;
12. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;
13. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.
Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:
1. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok
masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
yang sama;
2. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai kesetaraan gender
dalam kehidupan nasional;
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 53
3. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan uang dikarenakan oleh fungsi
reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
4. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua,
keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta
perkembangan pribadinya;
5. Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut
menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;
6. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
7. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang
dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu
yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok
lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam
pengertian diskriminasi.
Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban
asasi manusia yang meliputi:
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud sematamata
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai
agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam
masyarakat yang demokratis;
3. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia;
4. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang
pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Hak-hak tersebut di atas ada yang termasuk kategori HAM yang berlaku bagi
semua orang yang tinggal dan berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia, dan
ada pula yang merupakan hak warga negara yang berlaku hanya bagi warga negara
Republik Indonesia. Hak-hak dan kebebasan tersebut ada yang tercantum dalam
UUD 1945 dan ada pula yang tercantum hanya dalam undang-undang tetapi memiliki
kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki
“constitutional importance” yang sama dengan yang disebut eksplisit dalam UUD 1945.
Sesuai dengan prinsip “kontrak sosial” (social contract), maka setiap hak yang terkait
dengan warga negara dengan sendiri bertimbal-balik dengan kewajiban negara untuk
memenuhinya. Demikian pula dengan kewenangan-kewenangan konstitusional yang
dimiliki oleh negara melalui organ-organnya juga bertimbal-balik dengan kewajibankewajiban
konstitusional yang wajib ditaati dan dipenuhi oleh setiap warga negara.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 54
BAB 7
Sistem Pemerintahan dan
Otonomi Daerah
Karakteristik Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan pada hakekatnya adalah relasi kekuasaan antara kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan legislatif. Menurut Asshiddiqie (2006:108) apabila
disederhanakan, sistem pemerintahan yang dikenal di dunia dewasa ini dapat
dirumuskan dalam empat model, yaitu model Inggris, Amerika Serikat, Perancis, dan Swiss.
Amerika Serikat menganut sistem presidensiil. Hampir semua negara dibenua Amerika,
kecuali beberapa seperti Kanada, meniru Amerika Serikat dalam hal ini. Di benua
Eropa dan kebanyakan negara Asia pada umumnya menggunakan model Inggris,
yaitu sistem parlementer. Tetapi, Perancis memiliki model tersendiri yang bersifat
campuran atau yang biasa disebut dengan “hybrid system”. Pada umumnya negara-negara
bekas jajahan Perancis di Afrika menganut sistem campuran itu. Di satu segi ada
pembedaan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tetapi Kepala
Negaranya adalah Presiden yang dipilih dan bertanggungjawab kepada rakyat secara
langsung seperti dalam sistem presidensiil. Sedangkan Kepala Pemerintahan di satu
segi bertanggungjawab kepada Presiden, tetapi di segi lain, ia diangkat karena
kedudukannya sebagai pemenang pemilu yang menduduki kursi parlemen, dan karena
itu ia juga bertanggungjawab kepada parlemen.
Selain ketiga model itu, yang agak khas adalah Swiss yang juga mempunyai
Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi mereka itu dipilih dari dan oleh tujuh orang
anggota Dewan Federal untuk masa jabatan secara bergantian setiap tahun.
Sebenarnya ke-tujuh orang anggota Dewan Federal itulah yang secara bersama-sama
memimpin negara dan pemerintahan Swiss. Karena itu, sistem pemerintahan Swiss
ini biasa disebut sebagai “collegial system” yang sangat berbeda dari tradisi presidentialisme
atau parlementarisme di mana-mana.
Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial
Tentang sistem pemerintahan parlementer, Mahfud MD (2000:74) menulis ada empat
ciri parlementarisme. Pertama, kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala
pemerintahan karena lebih bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa). Kedua,
pemerintahan diselenggarakan sebuah kabinet yang dipimpin seorang perdana
menteri. Ketiga, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan kabinet dapat
dijatuhkan parlemen melalui mosi. Keempat, kedudukan eksekutif (kabinet) lebih
rendah daripada parlemen, karena itu kabinet bergantung pada parlemen.
Sedangkan terkait dengan sistem presidensial dapat dikemukakan bahwa ide
utama sistem presidensial pada dasarnya adalah meletakan presiden sebagai poros
kekuasaan pemerintahan, tetapi penerapannya tetap dalam kendali rakyat dalam
kerangka demokrasi (Yuda AR, 2010:15). Basis legitimasi presiden bersumber dari
rakyat, bukan parlemen, seperti halnya sistem parlementer. Karena itu, sistem
pemerintahan presidensial ditandai dengan penerapan sistem pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan yang tetap (fixed
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 55
term). Implikasinya adalah presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga
parlemen, seperti halnya sistem parlementer, melainkan langsung bertanggung jawab
kepada rakyat. Disamping itu, presiden tidak mudah dijatuhkan parlemen (legislative).
Begitu pun halnya dengan institusi parlemen, ia bersifat tetap dan tidak dapat
dibubarkan oleh presiden. Kedua lembaga itu (eksekutif dan legislatif) tidak dapat
saling menjatuhkan. Konsekuensinya, proses pemakzulan presiden dan wakil
presiden dari jabatannya hanya bias dilakukan melalui proses peradilan (proses
hukum), dan bukan proses politik.
Beberapa ahli merumuskan karakteristik sistem pemerintahan presidensial
sebagaimana diuraikan dalam tulisan Hanta Yuda AR (2010, 13-16) sebagai berikut.
Sartori mengemukakan tiga ciri utama sistem pemerintahan presidensial, pertama,
kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa
jabatan tertentu. Kedua, dalam masa jabatannya presiden tidak dapat dijatuhkan
parlemen, ketiga, presiden memimpin secara langsung pemerintahan yang
dibentuknya. Sedangkan Verney mengajukan tiga karakteristik lain, pertama, kekuasaan
eksektutif bersifat tidak terbagi (sole executive) – jabatan kepala negara (head of the state)
sekaligus kepala pemerintahan (head of government). Kedua, tidak ada peleburan antara
eksekutif dan legislatif, sehingga majelis tidak berubah menjadi parlemen dan
presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis. Ketiga, presiden (eksekutif)
bertanggung jawab kepada konstitusi dan secara langsung kepada pemilih (rakyat).
Ball dan Petters juga merumuskan empat karakteristik presidensialisme yang
sejalan dengan alur logika di atas, pertama, posisi presiden sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan. Kedua, presiden tidak dipilih parlemen, melainkan
dipilih langsung oleh rakyat, ketiga, presiden bukan bagian dari lembaga parlemen;
presiden tidak dapat diberhentikan parlemen, kecuali melalui mekanisme pemakzulan
(impeachment). Keempat, presiden tidak dapat membubarkan parlemen.
Heywood merumuskan beberapa karakteristik sistem presidensial, yaitu
pertama, Kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat seorang presiden. kedua,
Kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden sedangkan cabinet yang terdiri atas
menteri-menteri adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
Dan ketiga, terdapat pemisahan personel yang ada di parlemen dan di pemerintah.
Menurut Mainwaring, sistem presidensial paling tidak memiliki dua ciri,
pertama, pemilihan kepala pemerintahan (presiden) diselenggarakan secara terpisah
dengan pemilihan anggota parlemen. Karena itu, hasil pemilu legislative tidak
menentukan kekuasaan pemerintah (eksekutif) secara langsung. Kedua, kepala
pemerintahan dipilih untuk memerintah dengan periode waktu yang tetap (fixed term).
Sedangkan menurut Arend Lijphart terdapat tiga karakteristik sistem presidensial,
yaitu pertama, eksektutif dijalankan oleh satu orang (presiden). Kedua, eksektufi dipilih
langsung oleh rakyat. Ketiga, masa jabatan presiden bersifat tetap dan tidak dapat
diberhentikan berdasarkan pemungutan suara di parlemen.
Sementara itu, Asshiddiqie (1996, 204-206) juga merumuskan beberapa ciri
penting presidensialisme, pertama, masa jabatan presiden dan wakil presiden telah
ditentukan dengan pasti, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, sehingga
presiden dan juga wakil presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya
karena alasan politik. Di beberapa negara periode masa jabatan ini biasanya dibatasi
dengan jelas, hanya satu kali masa jabatan atau dua kali masa jabatan berturut-turut.
Kedua, presiden dan wakil presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga
politik tertentu yang biasa dikenal sebagai parlemen, melainkan langsung bertanggung
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 56
jawab kepada rakyat. Presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan dari
jabatannya karena alasan pelanggaran hukum yang biasanya dibatasi pada kasus-kasus
tindak pidana tertentu yang bila dibiarkan tanpa pertanggungjawaban dapat
menimbulkan masalah hukum yang serius, seperti misalnya pengkhianatan kepada
negara dan pelanggaran yang nyata terhadap konstitusi.
Ketiga, presiden dan wakil presiden dipilih rakyat secara langsung ataupun
melalui mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan permanen
sebagaimana hakikat lembaga permanen. Keempat, dalam hubungannya dengan
lembaga parlemen, presiden tidak tunduk kepada parlemen dan tidak dapat
membubarkan parlemen. Sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan presiden
dan membubarkan kabinet sebagaimana dalam praktik sistem parlementer.
Kelima, dalam sistem presidensial tidak dikenal pembedaan antara fungsi
kepala negara dan kepala pemerintahan. Sementara dalam sistem parlementer,
pembedaan dan bahkan pemisahan kedua jabatan, kepala Negara dan kepala
pemerintahan, merupakan suatu kelaziman dan keniscayaan. Keenam, tanggung jawab
pemerintah berada di pundak presiden. Karena itu, presiden yang berwenang
membentuk peemrintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan
para menteri serta pejabat-pejabat publik yang penangkatan dan pemberhentiannya
dialukan berdasarkan political appointment.
SKEMA Karakteristik Institusionalisasi Sistem Presidensial
Sumber: Hanta Yuda AR, 2010:16
Keterangan:
Struktur eksternal
1. Sistem pemilihan presiden secara langsung
oleh rakyat dengan masa jabatan tetap
2. Mekanisme impeachment presiden melalui
proses hukum (Presiden tidak dapat
dijatuhkan secara politis)
3. Posisi politik presiden dan parlemen setara
dan mandiri (checks and ballances)
Struktur internal
1. Single chief executive (1) Presiden sebagai kepala
negara dan pemerintahan
2. Single chief executive (2) Presiden dan wakil
presiden sebagai institusi tunggal
3. Hak prerogatif presiden membentuk kabinet
PARLEMEN
(partai-partai)
Presiden
dan wapres
institusi
tunggal
Hak prerogative menyusun
kabinet Bertanggung jawab
Single chief executive
Bertanggung jawab langsung
kepada rakyat (pelembagaan
impeachment melalui peradilan)
Dipilih langsung dengan masa
jabatan tetap (satu paket
pencalonan)
MENTERI MENTERI
Bertanggung jawab Dipilih Langsung
PRESIDEN
Kepala negara dan
kepala pemerintahan
Pemilu Legislatif Pemilu Presiden
R A K Y A T
Check and Balances
3
6
2 1
5
4
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 57
Otonomi Daerah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai
pemerintahan daerah (Pasal 18 UUD 1945). Pemerintahan daerah sendiri adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan
penyelenggaraan otonomi seluas-luasnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Dalam rumusan normatif undang-undang tentang pemerintahan daerah,
otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Siapakah pemerintahan
daerah itu? Pemerintahan daerah adalah: 1) pemerintahan daerah provinsi yang terdiri
atas pemerintah daerah provinsi (kepala daerah dan perangkat daerah) dan DPRD
provinsi; dan 2) pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah
daerah kabupaten/kota (kepala daerah dan perangkat daerah) dan DPRD
kabupaten/kota.
Dalam konteks negara kesatuan, hubungan kewenangan antara pusat dan
daerah di Indonesia mendasarkan diri pada tiga pola, yaitu desentralisasi,
dekonsentrasi dan medebewind (tugas pembantuan) (Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria,
2000:11). Pertama, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan. Menurut
Bagir Manan (2001:174), desentralisasi mengandung segi positif dalam
penyelenggaraan pemerintahan baik dari sudut politik, ekonomi, sosial, budaya dan
pertahanan keamanan, karena dilihat dari fungsi pemerintahan, desentralisasi
menunjukkan:
1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai
perubahan yang terjadi dengan cepat;
2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan lebih
efisien;
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih
tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Hal-hal yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah ialah tugas-tugas atau
urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah
untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuannya
daerah (Josep Riwu Kaho, 1991:14). Jadi desentralisasi adalah penyerahan wewenang
di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi
kepada institusi/lembaga/pejabat bawahannya sehingga yang diserahi atau dilimpahi
wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tersebut
(Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, 11).
Ada dua jenis desentralisasi, yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi
fungsional. Desentralisasi teritorial adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri (otonom) dan batas pengaturan termaksud adalah
daerah; sedangkan desentralisasi fungsional adalah penyerahan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas pengaturan termaksud adalah jenis
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 58
fungsi itu sendiri, misalnya soal Pendidikan dan kebudayaan, pertanahan, kesehatan,
dan lain-lain. (Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, 2000:11)
Kedua, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada
daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah dalam
kerangka Negara Kesatuan, dan lembaga yang melimpahkan kewenangan dapat
memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai
pengambilan atau pembuatan keputusan. Sebab terjadinya penyerahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat atau aparatnya untuk melaksanakan
wewenang tertentu dilakukan dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintah
pusat di daerah, sebab pejabat-pejabat atau aparatnya merupakan wakil pemerintah
pusat di daerah yang bersangkutan. (Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, 2000:11)
Ketiga, tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan pemerintah daerah
untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas dan lebih
tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan adalah salah satu wujud dekonsentrasi,
akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu, yang tersusun
secara vertikal. Jadi medebewind merupakan kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan
peraturan-peraturan yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan tiga hal yaitu :
1. Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah-daerah
otonom untuk melaksanakannya.
2. Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu mempunyai
kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu dengan kekhususan
daerahnya sepanjang peraturan mengharuskannya memberi kemungkinan
untuk itu.
3. Yang dapat diserahi urusan medebewind hanya daerah-daerah otonom saja,
tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang tersusun secara vertikal.
Pembagian Urusan Pemerintahan
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah pusat meliputi:
politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. penanganan bidang kesehatan;
6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
10. pengendalian lingkungan hidup;
11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 59
14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota ; dan
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sedangkan urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Sementara itu, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. penanganan bidang kesehatan;
6. penyelenggaraan pendidikan;
7. penanggulangan masalah sosial;
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
10. pengendalian lingkungan hidup;
11. pelayanan pertanahan;
12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. pelayanan administrasi penanaman modal;
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Hak dan Kewajiban Daerah dalam Otonomi Daerah
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah, baik daerah provinsi maupun daerah
kabupaten/kota mempunyai hak sebagai berikut:
1. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
2. memilih pimpinan daerah;
3. mengelola aparatur daerah;
4. mengelola kekayaan daerah;
5. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
6. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah;
7. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
8. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam Peraturan perundangundangan.
Sedangkan kewajiban daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah
sebagai berikut:
1. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional,
serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 60
2. meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat;
3. mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. melestarikan lingkungan hidup;
12. mengelola administrasi kependudukan;
13. melestarikan nilai sosial budaya;
14. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya; dan
15. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hak dan kewajiban daerah di atas diwujudkan dalam bentuk rencana kerja
pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan
pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah yang
dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat
pada peraturan perundang-undangan.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 61
BAB 8
Wawasan Nusantara
Geopolitik Indonesia
Istilah geopolitik berasal dari dua pengertian, yaitu geo yang berarti bumi, dan politik,
yang berarti kekuatan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dasar dalam
menentukan alternatif kebijaksanaan nasional untuk mewujudkan tujuan nasional.
Dengan demikian, geopolitik dapat diartikan sebagai sebuah kebijakan politik suatu
negara yang memanfaatkan geografi sebagai basis penguasaan ruang hidup demi
terjaminnya kelangsungan hidup dan pengembangan kehidupan negara yang
bersangkutan.
Mengapa geografi? Geografi adalah ruang hidup, ruang hidup adalah sumber
daya, sumber daya adalah energi dan ekonomi, energi dan ekonomi adalah kekuasaan
(power). Oleh karena itu, geografi, teritori dan ruang hidup dengan segala isinya harus
dikuasai bila perlu dengan menggunakan senjata. Dengan demikian, geopolitik
merupakan pengembangan dari geografi politik (dalam arti pendistribusian
kekuasaan, kewenangan dan tanggung jawab) dengan berdasarkan pada konstelasi
geografi untuk menyelenggarakan kepentingan nasional.
Konsep geopolitik tumbuh karena adanya kesadaran akan kebutuhan ruang
hidup manusia, masyarakat dan bangsa. Kesadaran ini terkait secara tidak langsung
dari kebutuhan keamanan bagi diri manusia, lebih-lebih bagi manusia yang telah
membangsa. Setelah bangsa menegara, kesadaran ruang menjadi kesadaran
kedaulatan, sehingga membuat batas-batas negara (boundary), dengan melalui
seperangkat hukum dan aparat penjamin tegaknya tertib hukum dan kedaulatan.
Tujuan penentuan garis batas selain untuk integrasi bangsa, juga untuk memperjelas
batas pembinaan sumber daya alam untuk keperluan keamanan maupun
kesejahteraan. Namun pada bangsa-bangsa yang bersifat heterogen dapat menjadi
disintegrasi apabila pemerintah tidak cukup memperhatikan daerah-daerah terpencil
yang berada di perbatasan serta sarana transportasi dan komunikasi yang cukup.
Sejarah Lahirnya Konsep Geopolitik di Dunia
Secara historis, sebelum abad XIX, pandangan geopolitik terhadap dunia hanya
berkisar pada lingkungan negara dan negara tetangga di sekitarnya. Para ahli belum
memahami geografi bumi secara menyeluruh. Hal ini terjadi karena pengetahuan
manusia tentang bumi belum lengkap, alat transportasi dan komunikasi yang sangat
minim terutama kemampuan jelajahnya. Pemahaman tentang geopolitik secara eksplisit
sebagai ilmu dalam bentuk teori-teori ilmiah mulai timbul sejak abad XIX seiring
dengan kemajuan-kemajuan dan perubahan besar di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang ditandai dengan revolusi industri. Revolusi industri menjadikan
pentingnya daerah-daerah baru sebagai sumber bahan baku dan sekaligus tempat
pemasaran hasil industri.
Istilah Geopolitik untuk pertama sekali diperkenalkan oleh ilmuawan politik
Swedia Rudolf Kjellen pada masa hampir bersamaan dengan pada saat Ratzel, sarjana
Geografi Jerman mendefinisikan Geografi Politik. Pengertian Geopolitik menurut
Kjellen adalah suatu ilmu pengetahuan yang memandang negara sebagai organisme
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 62
geografis atau sebagai suatu fenomena dalam ruang. Sudut pandang ini mempelajari
pengaruh faktor-faktor geografis terhadap negara dan kekuatannya dan berdasar
analisis tersebut diajukan tentang kebijakan yang paling efektif untuk menjamin
kemana arah perkembangan negara. Analisis ini mengajukan kesimpulan organisme
negara harus terlibat dalam suatu pergulatan terus-menerus dalam memperebutkan
kehidupan dan ruang. Hanya yang paling kuat dan paling mampu menyesuaikan diri
yang bisa berhasil untuk melanjutkan kehidupan dan mengembangkan diri. Wilayah
geografis dianggap sebagai salah satu faktor yang paling fundamental dalam
menentukan kekuatan negara (Mas‟oed, 2007).
Pemikiran Kjellen banyak dipengaruhi oleh Ratzel sebagai perintis geografi
politik modern, Ratzel memandang negara sebagai organisme yang harus bersaing
dengan organisme lain, dan agar bisa berkembang “organisme” itu memerlukan
Lebensraum (ruang untuk hidup). Dengan kata lain, Ratzel dengan model biologis itu
ingin menunjukkan bahwa setiap negara bersifat unik dalam arti punya kebutuhan
yang berbeda-beda tergantung pada kondisi fisik eksistensinya masing-masing, tetapi
semua negara itu memerlukan satu syarat fundamental, yaitu ruang hidup bagi
penduduknya. Lebensraum, dan sumber daya fisik dan manusiawi yang muncul akibat
dari pemilikan ruang-hidup itu, dalam pandangan Ratzel merupakan faktor penentu
bagi keberhasilan negara-negara dinamik yang berpotensi menjadi negara adidaya.
Untuk memperoleh ruang hidup itu perlu dilakukan perluasan wilayah, walaupun itu
bisa menimbulkan perang. Berdasar pada landasan berpikir seperti itulah Ratzel
mengembangkan bidang studi geografi politik yang meliputi studi tentang hubungan
antarnegara dan implikasi dari hubungan ini bagi arena internasional secara
keseluruhan (Mas‟oed, 2007).
Kemudian tahun 1861-1947, Sir Halford Mackinder,seorang Guru Besar
Geografi di Universitas London, memberikan pandangan dalam teori geopolitiknya
yaitu bahwa benteng yang paling kuat di dunia terletak wilayah Asia. Perkembangan
sejarah dunia pada dasarnya diwarnai oleh konflik antara kekuatan darat dan kekuatan
lautan. Pusat kekuatan darat paling penting di dunia, benteng paling kuat di dunia
terletak di wilayah jantung Asia. Inti pokok teori Mackinder ini terkenal dengan
sebutan “Barang siapa yang mampu menguasai Eropa Timur akan dapat menguasai
wilayah jantung, barang siapa menguasai wilayah jantung akan dapat menguasai pulau
dunia dan barang siapa yang dapat menguasai pulau dunia selanjutnya akan dapat
menguasai dunia seluruhnya (Mas‟oed, 2007). Berdasarkan teori Mackinder ini, maka
harus dihindarkan penyatuan Jerman dengan Rusia sebagai sekutu sebab kedua
negara secara bersama akan dapat menjadi kekuatan yang sangat besar yang dapat
membahayakan dunia.
Menurut Mackinder, sejarah dunia selalu ditentukan oleh bangsa-bangsa yang
mendiami wilayah jantung ini. Bangsa-bangsa ini selalu bergolak, bergerak dan
menyerbu daerah-daerah pantai baik di Eropa maupun di Asia (abad IV, bangsa
Hummer menyerbu Eropa, abad VIII bangsa Turki/Ottoman dan Arab menyerbu
Eropa, abad XI II bangsa Tartar/Gengis Khan menyerbu Eropa Timur.
Teori Mackinder tidak diterima oleh oleh Nicholas J. Spykrnan (1893-1943),
seorang sarjana geopolitik yang terkemuka di Amerika Serikat. Ia menyatakan bahwa
dalam waktu dekat, tidak mungkin daerah jantung itu menjadi pusat kekuasaan dunia
disebabkan faktor-faktor iklim, pertanian, distribusi, sumber-sumber batu bara, besi
minyak dan tenaga air serta perintang-perintang geografis lainnya di utara, timur,
selatan dan barat daya. Posisi dan arti daerah-daerah Uni Sovyet di Asia Tengah akan
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 63
berkurang apabila Cina dan India menjadi negara industri. Rimland dari Eurasia
adalah lebih tinggi nilainya daripada heartland. Rimland ini meliputi Eropa (kecuali
Rusia), Asia Kecil, Arabia, Irak, Iran, Afganistan, India, Asia Tenggara, Cina, Korea
dan Siberia Timur. Wilayah ini merupakan buffer zone antara kekuatan darat dan
laut. Lebih jauh Spyikman menjelaskan geopolitik memberikan suatu gambaran yang
berhubungan dengan suatu kerangka petunjuk tertentu dalam suatu masa tertentu.
Suatu wilayah dipandang dari sudut geopolitik ditentukan olah faktor-faktor
geografinya dan oleh perubahan-perubahan dinamis dari pusat-pusat kekuasaan
dunia. Jadi analisa-analisa geopolitik sifatnya dinamis dan tidak statis.
Karl Haushofer (1869-1946), seorang sarjana Geografi dan pernah menjadi
direktur Institut Geopolitik di Munich pada pokoknya mengikuti dan
mengembangkan pendapat dari Ratzel seniornya. Salah satu Pandangan Haushofer
dan teorinya adalah Teori Lebensraum. Teori ini didasarkan atas anggapan bahwa
banga-bangsa yang telah berkembang dengan cepat memiliki sifat-sifat yang lebih
sempurna, oleh karena itu bangsa-bangsa tersebut harus diberi kesempatan
berkembang dalam arti memperluas daerahnya. (Disebutkan bangsa Aria/Jerman
sebagai bangsa yang sempurna berhak untuk menguasai lebensraum di Eropa dan
Afrika dan bangsa Jepang sebagai bangsa sempurna berhak menguasai lebensraumnya
di Asia) (Ermaya Suradinata, 2001).
Berbagai teori Geopolitik lainnya seperti Sir Walter Raleigh (1553-1613),
seorang mantan Perdana Menteri Inggris mengemukakan supremasi di lautan sebagai
dasar dari kekuasaan. Inti konsepnya adalah adalah penguasaan lautan, yaitu dengan
membangun angkatan laut yang kuat dan modern untuk dapat menjelajahi dan
menguasai seluruh laut yang pada akhirnya dapat menguasai dunia. Selanjutnya,
Alfred Thayer Mahan (1860-1914), seorang Laksamana Laut dan guru besar dalam
sejarah maritim dan strategi pada Naval War College di Amerika Serikat, menjelaskan
dalam teorinya bagi bangsa yang memiliki pantai, maka laut merupakan perbatasan
dan kekuasaan nasionalnya yang ditentukan oleh kemampuannya untuk memperluas
perbatasan tersebut. Bahwa penduduk suatu negara yang suka berdagang/berniaga
akan mudah berkembang dan memerlukan daerah-daerah jajahan sebagai tempat
mengambil bahan-bahan baku, daerah pasaran tempat menjual hasil produksinya dan
daerah tempat mengembangkan perkapalan nasional (Ermaya Suradinata, 2001).
Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik Indonesia
Konsep dasar Wawasan Nusantara
Pemerintah dan rakyat memerlukan konsepsi berupa wawasan nasional untuk
menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin
kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati diri bangsa. Kata wawasan berasal
dari kata wawas yang berarti melihat atau memandang. Dengan penambahan akhiran –
an kata ini secara harfiah berarti cara penglihatan atau cara tinjau atau cara pandang.
Kehidupan suatu bangsa dan negara senantias dipengaruhi oleh
perkembangan lingkungan strategis. Karena itu, wawasan itu harus mampu memberi
inspirasi pada suatu bangsa dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan
yang ditimbulkan oleh lingkungan strategis dalam mengejar kejayaannya. Dalam
mewujudkan aspirasi dan perjuangan, suatu bangsa perlu memperhatikan 3 (tiga)
faktor utama, yaitu:
1. Bumi atau ruang dimana bangsa itu hidup;
2. Jiwa, tekad dan semangat manusia atau masyarakatnya;
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 64
3. Lingkungan sekitarnya.
Wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara
tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung (melalui
interaksi dan interrelasi) dalam pembangunannya di lingkungan nasional (termasuk
lokal dan proposional), regional serta global. Wawasan nasional Indonesia dilandasi
oleh falsafah Pancasila dan oleh adanya konsep geopolitik. Karena itu, pembahasan
latar belakang filosofis sebagai dasar pemikiran pembinaan dan pengembangan
wawasan nasional Indonesia haruslah ditinjau dari latar belakang pemikiran
berdasarkan falsafah Pancasila, aspek kewilayahan nusantara, aspek sosial budaya
bangsa Indonesia, dan aspek kesejarahan bangsa Indonesia.
Wawasan nusantara merupakan penjabaran dari nilai cinta tanah air dengan
segala aspek kehidupan di dalamnya yang merupakan satu kesatuan dalam bidang
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan negara. Pancasila
sebagai landasan visual dari adanya wawasan nusantara mengandung arti bahwa
wawasan nusantara mengajak atau menggugah kesadaran bagi segenap komponen
bangsa, para pemimpin bangsa, profesional, para pakar/cendikiawan, ilmuwan dan
penyelenggara pemerintahan baik di pusat maupun daerah untuk memandang dalam
persepsi yang sama tentang 6 (enam) konsep “Batu Bangun” wawasan nusantara yang
meliputi:
1. Konsep persatuan dan kesatuan, mengandung makna segenap komponen
bangsa untuk bersatu padu karena bangsa Indonesia yang heterogen dan
majemuk serta hidup di dalam wilayah kepulauan NKRI.
2. Konsep Bhineka Tunggal Ika, mengajak segenap komponen bangsa bahwa
keanekaragaman suku, etnis, agama, spesifikasi daerah adalah realita yang
harus di dayagunakan untuk memajukan bangsa dan negara.
3. Konsep kebangsaan, mengajak segenap komponen bangsa untuk memiliki
persepsi yang sama tentang kebangsaan Indonesia, bahwa bangsa Indonesia
lahir karena adanya kehendak segenap komponen bangsa yang terdiri dari
kelompok-kelompok masyarakat yang heterogen dan majemuk untuk bersatu,
memiliki latar belakang sejarah yang sama, mempunyai cita-cita dan tujuan
untuk hidup bersama dan hidup dalam wilayah yang sama sebagai satu
kesatuan ruang hidup yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Konsep Negara Kebangsaan, menggugah kesadaran segenap komponen bangsa
untuk memiliki persepsi yang sama tentang konsep negara kebangsaan
mengedepankan prinsip satu kesatuan wilayah.
5. Konsep Negara Kepulauan, mengajak segenap komponen bangsa untuk
memiliki persepsi yang sama tentang negara kepulauan, yaitu sebagai kawasan
laut yang ditaburi pulau-pulau. Untuk itu wilayah laut harus di pandang
sebagai media pemersatu bangsa.
6. Konsep Geopolitik, mengajak seluruh komponen bangsa untuk memiliki
persepsi yang sama tentang konstelasi geografi Indonesia, yang posisi strategis
Indoneisa antara dua kawasan besar dunia (Samudra Hindia dan Pasifik)
dengan sumber kekayaan alamnya merupakn suatu potensi bila bangsa dan
masyrakat Indonesia bisa memanfaatkan dan menjadi kerawanan jika bangsa
dan masyarakat Indoensia tidak mampu memanfaatkan dan menjaganya.
Kondisi obyektif geografi nusantara yang merupakan untaian ribuan pulau
yang tersebar dan terbentang di khatulistiwa serta terletak pada posisi silang yang
sangat strategis, memiliki karakteristik yang berbeda dari negara lain. Mengingat
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 65
keadaan lingkungan alamnya, persatuan bangsa dan kesatuan wilayah negara menjadi
tuntunan utama bagi terwujudnya kemakmuran dan keamanan yang
berkesinambungan. Atas pertimbangan tersebut, dimaklumatkannlah Deklarasi
Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang berbunyi :
..... berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah menyatakan
bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulaupulau
yang termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau
lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan negara
Indonesia dan dengan demikian bagian perairan pedalaman atau nasional
yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Indonesia. Lalu lintas yang
damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan
sekedar tidak bertentangan dengan atau menggangu kedaulatan dan
keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas lautan teritorial (yang
lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung
terluar pada pulau-pulau negara Indonesia...
Deklarsi ini menyatakan bahwa bentuk geografis Indoneisa adalah negara
kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dengan sifat dan corak
tersendiri. Deklarasi ini juga menyatakan bahwa demi keutuhan teritorial dan untuk
melindungi kekayaan negara yang terkandung di dalamnya, pulau-pulau serta laut
yang ada diantaranya dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh. Untuk
mengukuhkan asas negara kepulauan ini, ditetapkan UU No.4/Prp/Tahun 1960
tentang Perairan Indonesia. Selain itu, melalui Konferensi PBB tentang Hukum Laut
Internasional Tahun 1982, pokok-pokok asas negara kepulauan diakui dan
dicantumkan dalam UNCLOS (United Nation Convention on The Law of the Sea) 1982
atau Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut. Indonesia
meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 dan sudah menjadi
hukum positif sejak tanggal 16 November 1994.
Berlakunya UNCLOS 1982 berpengaruh pada pemanfaatan laut bagi
kepentingan kesejahteraan, seperti bertambah luas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
dan landas kontinen Indonesia. Pada satu sisi, UNCLOS 1982 memberikan
keuntungan bagi pembangunan nasional yaitu bertambah luasnya yurisdiksi nasional
yang sekaligus berarti bertambahnya kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
serta terbukanya peluang untuk memanfaatkan laut sebagai sarana transportasi.
Namun disisi lain potensi kerawanan akan semakin bertambah. Dengan demikian
secara kontekstual, geografi Indonesia memiliki kelemahan dan kelebihan karena itu
kondisi dan konstelasi geografi harus bisa dicermati secara utuh dan menyeluruh
dalam konsep Geopolitik Indonesia, dimana setiap perumusan kebijaksanaan
nasional harus memiliki wawasan kewilayahan atau ruang hidup yang diatur oleh
politik ketatanegaraan. Karena itu, wawasan kebangsaan atau wawasan nasional atau
wawasan nusantara Indonesia tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi
dan geografis Indonesia dan tetap mempertahankan terpeliharanya keutuhan dan
kekompakkan wilayah, dihormatinya karakter, ciri serta kemampuan daerah masingmasing.
Konsepsi negara kepulauan yang telah disahkan oleh pemerintanh Indonesia
menimbulkan tantangan, ancaman dan gangguan bagi Indonesia. Ada empat negara
yang sangat berkepentingan atas wilayah Indonesia antara lain:
1. Negara ASEAN termasuk Australia;
2. Negara dengan armada perikanan besar seperti Jepang;
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 66
3. Negara pemilik perusahaan perkapalan (sea liners).
4. Negara adidaya untuk memudahkan manuver armada militernya dalam
rangka melaksanakan global strategi geopolitiknya.
Sebagai konsekuensi dari diratifikasinya UNCLOS 1982, pemerintah
Indonesia membuka alur laut kepulauan sebanyak 3 buah dikenal sebagai Alur Laut
Kepulauan (ALKI). ALKI juga berlaku bagi lintasan pesawat terbang, padahal jalar
penerbangan Internacional termasuk melintasi Indonesia diatur dalam Internacional
Civil Aeronautic Organization (ICAO). ALKI yang lebarnya 80 km (50 mil) dari koridor
udara yang dibuat oeh ICAO menjadi tumpang tindih. Apalagi kini Amerika Serikat
dan Australia dengan gigih menuntut pembukaan ALKI Timur-Barat yang melintasi
Pulau Jawa melalui International Maritim Organization (IMO).
Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Nasional Indonesia
Sebagai bangsa yang majemuk, bangsa Indonesia harus selalu membina dan
membangun kehidupan nasionalnya baik pada aspek politik, ekonomi, sosial budaya
maupun pertahanan dan keamanannya serta selalu mengatasnamakan persatuan dan
kesatuan bangsa dan kesatuan wilayahnya. Untuk itu penyelenggaraan dan pembinaan
tata kehidupan bangsa dan negara Indonesia disusun atas dasar hubungan timbal
balik antara falsafah, cita-cita dan tujuan nasional, serta kondisi sosial budaya dan
pengalaman sejarah yang menumbuhkan kesadaran akan kemajemukan dan
kebhinnekaan dengan tetp menpertahankan persatuan dan kesatuan nasional.
Gagasan untuk menjamin kesatuan dan persatuan Indonesia tercermin dalam
suatu konsep yang dikenal dengan istilah wawasan kebangsaan atau wawasan nasional
Indonesia atau wawasan nusantara Indonesia. Dengan demikian wawasan nusantara
sebagai landasan geopolitik Indonesia adalah cara pandang dan sikap bangsa
Indonesia untuk mengenali diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai
strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dan tetap
menghargai serta menghormati kebhinnekaan dalam setiap aspek kehidupan nasional
untuk mencapai tujuan nasional.
Wawasan nusantara merupakan geopolitik bangsa Indonesia karena di
dalamnya terkandung ajaran yang bersumber dari Pancasila dan dilandasi dengan
UUD 1945. Sedangkan cinta tanah air memiliki pengertian bahwa tanah air adalah
ruang wilayah negara baik secara geografis (fisik) maupun non-fisik (tata nilai dan tata
kehidupan masyarakat) telah memberikan kehidupan dan penghidupan sejak manusia
lahir sampai pada akhir hayatnya. Di dalam wawasan nusantara terkandung konsepsi
geopolitik yaitu unsur ruang yang kini berkembang tidak saja secara fisik namun
dalam arti semu/maya. Para pendiri negara Repulik Indonesia meletakkan dasardasar
geopolitik Indonesia melalui ikrar Sumpah Pemuda, yaitu satu nusa, satu bangsa
dan satu bahasa. Hakikat yang terkandung dalam isi sumpah pemuda adalah keutuhan
ruang hidup dan landasan dasar dari kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia
memiliki tiga unsur dari geopolitik, yaitu rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan
semangat kebangsaan.
Rasa kebangsaan adalah dorongan emosional yang lahir dalam perasaan setiap
warga negara, baik secara perorangan maupun kelompok tanpa memandang
kesukuan, ras, agama dan keturunan. Rasa inilah yang menumbuhkan internalisasi
satu masyarakat yang didambakan (imagined society) dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Menguatnya rasa kebangsaan secara individual dan kelompok menjadi
energi dan pengendapan nilai-nilai kebangsaan yang kemudian melahirkan faham dan
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 67
semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan akan tumbuh subur dan berkembag melalui
proses sinergi dari berbagai individu yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, kemudian satu sama lain saling menguatkan dan melahirkan ciri
atau identitas bangsa. Keyakinan dan pengakuan terhadap ciri atau identitas bangsa
merupakan perwujudan dari rasa kebangsaan itu sendiri.
Rasa kebangsaan dapat menyatukan tekad menjadi bangsa yang kuat,
dihormati dan disegani oleh bangsa lain. Paham kebangsaan merupakan perwujudan
tentang apa, bagaimana, dan sikap bangsa dalam menghadapi masa depan. Hasil
sinergi dari rasa kebangsaan dan faham kebangsaan adalah semangat kebangsaan yang
kemudian dikenal dengan faham nasionalisme. Dengan rasa nasionalisme kuat dan
mantap, bangsa akan tetap hidup (survive) di tengah-tengah lingkungan masyarakat
Internasional.
Penumbuhan rasa kebangsaan dalam kondisi masyarakat bangsa Indonesia
yang majemuk yang terlahir dengan kebhinnekaan suku, ras, agama, keturunan dan
budaya sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan bermartabat dalam
nuansa yang demokratis melalui pendekatan dialogis. Pendekatan ini bertitik tolak
dari kesadaran untuk mengakui, memahami dan menghormati kemajemukan negarabangsa
Indonesia. Langkah seutuhnya kemudian diejawantahkan melalui semangat
silih asah, silih asih dan silih asuh (saling mengingatkan, saling mengasihi dan saling
tolong menolong).
Wujud dari paham kebangsaan antara lain: 1) Pemahaman dalam diri setiap
individu sebagai warga negara Indonesia tentang perwujudan kepulauan nusantara
sebagai satu kesatuan politik; 2) Pemahaman yang luas pada individu dan masyarakat
tentang perwujudan nusantara sebagai satu kesatuan sosial dan budaya; 3)
Pemahaman bahwa kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi; dan 4)
Pemahaman bahwa wilayah kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan
pertahanan dan keamanan.
Sedangkan wujud semangat kebangsaan bersifat abstrak karena semangat ini
timbul melalui proses sosialisasi, penghayatan, aktualisasi, pembudayaan dan
pelestarian. Kecintaan tanah air yang dimanifestasikan dalam keragaman bentuknya
adalah penegasan konkrit dari tumbuhnya semangat kebangsaan. Semangat
kebangsaan dapat dilihat dari sejauh mana manusia senantiasa mengatasnamakan
bangsa dan negara pada setiap tindakan konstruktif profesional yang dilakukannya.
Dari gambaran di atas, geopolitik akan berjalan dengan baik jika didukung
dengan pemahaman dari wawasan nusantara yang meliputi adanya kesatuan politik,
kesatuan ekonomi, kesatuan sosial budaya dan kesatuan pertahanan keamanan.
Pertama, kesatuan politik, memiliki peran yang sangat penting untuk
menunjukkan bahwa negara merupakan suatu entity (kesatuan) yang utuh sebagai
tanah air. Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian ditindaklanjuti
dengan Perpu No. 4 Tahun 1960, menjadikan kesatuan geografi menjadi kesatuan
politik dan deklarasi Juanda merupakan cerminan dari bangsa Indonesia yang
menghendaki wilayah yang utuh sebagai suatu benua. Konvensi Hukum Laut 1982 di
Montego Bay merupkan pengukuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
negara kepulauan (Archipelago state). Doktrin nusantara merupakan suatu upaya untuk
meniadakan laut bebas di antara pulau-pulau Indonesia, melainkan laut menjadi
pemersatu wilayah dan bukan pemisah dari suatu wilayah di Indonesia. Doktrin
nusantara timbul karena adanya kebutuhan akan rasa aman bagi bangsa dan negara
Indonesia.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 68
Kedua, kesatuan ekonomi. Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan untuk
mengelola sumber daya yang ada di negara Indonesia dengan ruang gerak yang bebas
yang dilakukan secara demokratis sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 33
UUD 1945. Demokratis sendiri megandung arti bahwa partisipasi rakyat dalam
menentukan keputusan politik dengan cara memberikan otonomi yang luas dan
bertanggungjawab kepada daerah dengan tetap berpegangan pada rambu-rambu yang
hukum dan kesepakatan bersama. Dengan demikian hasil pengelolaan sumber daya
hendaknya dapat di distribusikan secara adil dan merata.
Ketiga, kesatuan sosial budaya. Bangsa Indonesia lahir karena adanya
kesepakatan bukan karena atas dasar geografi dan agama. Kesepakatan ini lahir
melalui tahap sumpah pemuda dan sidang-sidang BPUPKI. Sidang BPUPKI juga
disepakati bahwa berdirinya negara kesatuan bukan negara federal, sedangkan sebagai
salah satu pengikat adanya satu bahasa yaitu bahasa Indonesia. Aldous Huxley
(Suriasumantri) berpendapat bahwa “Tanpa kemampuan ini manusia tak mungkin
mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang
pulalah kemampuan meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi.”
Dalam perjalanan sejarahnya, bahasa Indonesia diwarnai dengan masuknya
bahasa daerah lainnya yang menimbulkan akulturasi kebudayaan bagi bangsa
Indonesia sangat diperlukan. Akulturasi terjadi karena pada dasarnya kebudayaan
tidak pernah memiliki wujud abadi, tetapi terus menerus mengikuti perkembangan
zaman. KI Hajar Dewantara (Pranarka, 1984) menegaskan bahwa “Kebudayaan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerahdaerah
seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan
harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dan budaya asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya
kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Keempat, kesatuan pertahanan keamanan. Pasal 27 dan Pasal 30 UUD 1945
menggambarkan adanya demokratisasi dalam upaya pembelaan negara. Dari kedua
pasal ini jelas bahwa orientasi membela negara dan usaha pertahanan keamanan
adalah tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Usaha pertahanan keamanan
dilakukan melalui sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) yang
memiliki pengertian: 1) bahwa orientasi pada rakyat, dan rasa aman hendaknya
diciptakan untuk rakyat; 2) melibatkan secara semesta, berarti bahwa setiap
warganegara dan fasilitas digunakan untuk pertahanan dan keamanan; dan 3)
diselenggarakan di wilayah nusantara secara kewilayahan dan diharapkan setiap unit
wilayah dapat mengalang ketahanan nasional.
Landasan Wawasan Nusantara
Pertama, Pancasila sebagai landasan idiil wawasan nusantara. Pancasila diakui
sebagai ideologi dan dasar negara yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945.
Pancasila mencerminkan nilai, keseimbangan, keserasian, perstuan dan kesatuan,
kekeluargaan, kebersmaan dan kearifan dalam membina kehidupan nasional.
Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa dan dasar negara mempunyai kekutan
hukum yang mengikat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan dan
seluruh rakyat Indonesia. Wawasan Nusantara pada hakikatnya merupakan pancaran
dari falsafah Pancasila yang diterapkan dalam kondisi nyat Indonesia. Dengan
demikian, Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia telah dijadikan landasan Idiil
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 69
dan dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945. Pencerminan Pancasila
tentang konsep Wawasan Nusantara tercermin dalam Sila ke-3 Pancasila yang
berbunyi Persatuan Indonesia. Sila ini mengandung pengertian bangsa Indonesia
lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan masyarakat lebih
luas dan harus diutamakan daripada kepentingan yang lebih besar dan tidak
mematikan atau meniadakan kepentingan golongan, suku bangsa maupun
perorangan. Sikap tersebut mewarnai adanya wawasan kebangsaan atau wawasan
nusantara.
Kedua, UUD 1945 sebagai landasan konsepsional wawasan nusantara. UUD
1945 merupakan konstitusi dasar yang menjadi pedoman pokok dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia menyadari bahwa bumi,
air dan dirgantara diatasnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
dan seluruh potensi yang ada tersebut dipergunakan secara terpadu, seimbang, serasi
dan selaras dan adil.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 70
BAB 9
Ketahanan Nasional
Geostrategi Indonesia
Setiap bangsa dan negara membutuhkan strategi dalam memanfaatkan wilayah negara
sebagai ruang hidup nasional untuk menentukan kebijakan,sarana dan sasaran
perwujudan kepentingan dan tujuan nasional melalui pembangunan sehingga bangsa
itu tetap eksis dalam arti ideologis, politis, ekonomis, sosial budaya dan Hankam.
Karena itu, diperlukan geostrategi dalam pengelolaan suatu negara. Geostartegi
merupakan strategi dalam memanfaatkan konstelasi geografi negara untuk
menentukan kebijakan, tujuan, sarana-sarana untuk mencapai tujuan nasional.
Geostrategi dapat pula dikatakan sebagai pemanfaatan kondisi lingkungan dalam
upaya mewujudkan tujuan politik.
Dari pengertian tersebut, kita dapat memaknai geostrategi Indonesia sebagai
strategi nasional bangsa Indonesia dalam memanfaatkan wilayah negara republik
Indonesia sebagai ruang hidup nasional guna merancang arahan tentang kebijakan,
sarana dan sasaran pembangunan untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dengan demikian, geostrategi Indonesia memberi arahan tentang bagaimana
merancang strategi pembangunan guna mewujudkan masa depan yang lebih baik,
aman dan sejahtera. Geostrataegi Indonesia dirumuskan dalam wujud Konsepsi
“Ketahanan Nasional”.
Dilihat dari perkembangannya, konsep geostrategi Indonesia dikembangkan
pertama kali oleh Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung
tahun 1962. Isi konsep geostrategi Indonesia yang terumus adalah pentingnya
pengkajian terhadap perkembangan lingkungan strategis di kawasan Indonesia yang
ditandai dengan meluasnya pengaruh komunis. Geostrategi Indonesia pada waktu itu
dimaknai sebagai strategi untuk mengembangkan dan membangun kemampuan
teritorial dan kemampuan gerilya untuk menghadapi ancaman komunis di Indocina.
Pada tahun 1965-an Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)
mengembangkan konsep geostrategi Indonesia yang lebih maju dengan rumusan
sebagai berikut: bahwa geostrategi Indonesia harus berupa sebuah konsep strategi
untuk mengembangkan keuletan dan daya tahan, pengembangan kekuatan nasional
untuk menghadapi dan menangkal ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik
bersifat internal maupun eksternal. Sejak tahun 1972, Lemhanas terus melakukan
pengkajian tentang geostrategi Indonesia yang lebih sesuai dengan konstelasi
Indonesia. Pada era itu konsepsi geostrategi Indonesia dibatasi sebagai metode untuk
mengembangkan potensi ketahanan nasional dengan pendekatan keamanan dan
kesejahteraan guna menjaga identitas kelangsungan serta integritas nasional sehingga
tujuan nasional dapat tercapai. Dan terhitung mulai tahun 1974, geostrategi Indonesia
ditegaskan wujudnya dalam bentuk rumusan ketahanan nasional sebagai kondisi,
metode, dan doktrin dalam pembangunan nasional.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 71
Pengembangan konsep geostrategi Indonesia paling tidak memiliki dua tujuan
utama, yaitu: Pertama, menyusun dan mengembangkan potensi kekuatan nasional baik
yang berbasis pada aspek ideologi, politik, sosial budaya dan hankam mupun aspekaspek
alamiah, bagi upaya kelestarian dan eksistensi hidup negara dan bangsa untuk
mewujudkan cita-cita Proklamsi dan tujuan nasional. Kedua, menunjang tugas pokok
pemerintahan Indonesia dalam: 1) menegakkan hukum dan ketertiban (law and order);
2) terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity); 3)
terselenggaranya pertahanan dan keamanan (defense and prosperity); 4) terwujudnya
keadilan hukum dan keadilan sosial (yuridical justice and social justice); dan 5) tersedianya
kesempatan rakyat untuk mengaktualisasikan diri (freedom of the people).
Geostrategi Indonesia ini memiliki dua sifat pokok, yaitu: pertama, bersifat
daya tangkal, yaitu ditujukan untuk menangkal segala bentuk ancaman, gangguan,
hambatan dan tantangan terhadap identitas, integritas, eksistensi bangsa dan negara
Indonesia. Kedua, bersifat pengembangan (developmental), yaitu pengembangan potensi
kekuatan bangsa dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam sehingga
tercapai kesejaheraan rakyat.
Ketahanan Nasional sebagai Perwujudan Geostrategi Indonesia
Pada hakikatnya ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu
bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan
negara. Ketahanan nasional ini tergantung pada kemampuan bangsa dan seluruh
warga negara dalam membina aspek alamiah serta aspek sosial, sebagai landasan
penyelenggaraan kehidupan nasional di segala bidang. Ketahanan nasional
mengandung makna keutuhan semua potensi yang terdapat dalam wilayah nasional,
baik fisik maupun sosial serta memiliki hubungan erat antara gatra di dalamnya secara
komprehensif integral. Kelemahan salah satu bidang akan mengakibatkan kelemahan
bidang yang lain yang dapat mempengaruhi kondisi keseluruhan.
Perkembangan konsepsi pengertian ketahanan nasional telah mengalami
rentang yang panjang, sejak tahun 1960-an ketika pertama kali dikembangkan.
Ketahanan nasional berdasarkan rumusan Seskoad tahun 1960 dipahami sebagai
pertahanan wilayah oleh seluruh rakyat. Selanjutnya pada tahun 1963, Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhanas) merumuskan ketahanan nasional sebagai keuletan
dan daya tahan kita dalam menghadapi segala kekuatan, baik yang datang dari luar
maupun dari dalam yang langsung ataupun tidak langsung membahayakan
kelangsungan negara dan bangsa Indonesia. Pada tahun 1969, Lemhanas juga
merumuskan ketahanan nasional sebagai keuletan dan daya tahan kita menghadapi
segala ancaman baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung ataupun
tidak langsung membahayakan kelangsungan negara dan bangsa Indonesia.
Perkembangan selanjutnya, dalam SK Menhankam/Pangab No.
SKEP/1382/XII/1974, ketahanan nasional diartikan sebagai kondisi dinamis suatu
bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala
ancaman, gangguan, tantangan baik yang datang dari dalam maupun dari luar yang
langsung maupun tidak langsung, membahayakan integritas, identitas, kelangsungan
hidup bangsa dan negara serta perjuangn nasional. Dan terakhir, dalam GBHN 1978-
1997, ketahanan nasional dipahami sebagai kondisi dinamis yang merupakan integrasi
dari kondisi tiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Pada hakikatnya ketahanan
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 72
nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk menjamin
kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara.
Ketahanan nasional diwujudkan dengan mengelola dan menyelenggarakan
kesejahteraan dan keamanan terhadap sistem kehidupan nasional. Sebagai konsepsi
pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, metode
pendekatan dan pengkajian ketahanan nasional diarahkan pada dua pendekatan, yaitu
pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraaan. Sifat-sifat ketahanan nasional
adalah: manunggal, mawas ke dalam, kewibawaan, berubah menurut waktu, tidak
membenarkan sikap adu kekuasaan dan adu kekuatan, percaya pada diri sendiri, dan
tidak tergantung pada pihak lain.
Konsepsi dasar ketahanan nasional paling tidak dapat dipahami dari empat
model ketahanan nasional, masing-masing model Astagatra, Model Morgentahu,
Model Alfred Thayer Mahan, dan Model Cline. Pertama, Model Astagatra, model ini
merupakan perangkat hubungan bidang-bidang kehidupan manusia dan budaya yang
berlangsung di atas bumi ini dengan memanfaatkan segala kekayaan alam yang dapat
dicapai dengan menggunakan kemampuannya. Model yang dikembangkan oleh
Lemhanas ini menyimpulkan adanya 8 (delapan) unsur aspek kehidupan nasional
yang terdiri atas aspek kehidupan alamiah dan aspek kehidupan sosial. Aspek alamiah
meliputi Trigatra, yaitu: letak dan kedudukan geografi, keadaan dan kekayaan alam,
dan keadaan dan kemampuan penduduk. Sedangkan aspek kehidupan sosial terdiri
atas Pancagatra, yaitu: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan. Hubungan komponen strategi antargatra dalam trigatra dan pancagatra
serta antara gatra itu sendiri terdapat hubungan timbal balik yang erat dan lazim
disebut hubungan (korelasi) dan ketergantungan (interdependency). Oleh karena itu
hubungan komponen strategi dalam trigatra dan pancagatra tersusun secara utuh
menyeluruh (komprehensif integral) di dalam komponen strategi astagatra.
Kedua, Model Morgenthau, model ini bersifat deskriptif kualitatif dengan
jumlah gatra yang cukup banyak. Bila model Lemhanas berevolosi dari observasi
empiris perjalanan perjuangan bangsa, maka model ini diturunkan secara analitis.
Dalam analisisnya, Morgenthau menekankan pentingnya kekuatan nasional dibina
dalam kaitannya dengan negara-negara lain. Artinya, ia menganggap pentingnya
perjuangan untuk mendapatkan power position dalam satu kawasan. Sebagai
konsekuensinya maka terdapat advokasi untuk memperoleh power position sehingga
muncul strategi ke arah balanced power.
Ketiga, Model Alfred Thayer Mahan. Dalam bukunya The Influence Seapower on
History, Alfred Thayer Mahan mengatakan bahwa kekuatan nasional suatu bangsa
dapat dipenuhi apabila bangsa tersebut memenuhi unsur-unsur letak geografi, bentuk
atau wujud bumi, luas wilayah, jumlah penduduk, watak nasional atau bangsa, dan
sifat pemerintahan. Dan keempat, Model Cline yang melihat suatu negara dari luar
sebagaimana dipersepsikan oleh negara lain. Baginya hubungan antar negara pada
hakikatnya amat dipengaruhi oleh persepsi suatu negara terhadap negara lainnya
termasuk di dalamnya persepsi atau sistem penangkalan dari negara lainnya. Menurut
Cline suatu negara akan muncul sebagai kekuatan besar apabila ia memiliki potensi
geografi besar atau negara secara fisik memiliki wilayah yang besar dan sumber daya
manusia yang besar pula. Model ini mengatakan bahwa suatu negara kecil
bagaimanapun majunya tidak akan dapat memproyeksikan diri sebagai negara besar.
Sebaliknya suatu negara dengan wilayah yang besar akan tetapi jumlah penduduknya
kecil juga tidak akan menjadi negara besar walaupun berteknologi maju.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 73
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, J. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah. Jakarta: UI
Press.
Asshiddiqie, J. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Jakarta:
Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Asshiddiqie, J. 2008. Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Makalah disampaikan pada
Lecture Peringatan 10 Tahun KontraS. Jakarta, 26 Maret 2008.
Budiardjo, M. 1998. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Busroh, A.D dan Busroh, A.B. 1991. Azas-azas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Chaidir, E. 2007. Hukum dan Teori Konstitusi. Yogyakarta: Kreasi Total Media
Fauzi, N dan Zakaria, R Y. 2000. Mensiasati Otonomi Daerah. Yogyakarta: Konsorsium
Pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST Press.
Halili. 2009. Hak Asasi Manusia, Bahan Tayangan Perkuliahan Pendidikan Hak Asasi
Manusia, Universitas Negeri Yogyakarta.
Ibn Chamim, A (Ed). 2003. Pendidikan Kewargaengaraan Menuju Kehidupan yang
Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian
dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Kaelan. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Kaho, J R. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali
Pers.
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Kusnardi, M dan Ibrahim, H. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta:
Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI
Mahfud MD, M. 2000. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Rineka Cipta
Manan, B. 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: PSH FH-UII.
Mas‟oed, M. 2007. Nasionalisme dan Tantangan Global Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
MPR RI. 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 Sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat. Jakarta, Sekretariat
Jenderal MPR.
Nickel, J W. 1996. Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (alih bahasa oleh Titis Eddy Arini dari judul asli Making Sense of
Human Rights: Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human Rights).
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pranarka, A M W. 1985. Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta: Yayasan
Proklamasi CSIS.
Sanusi, A. 2006. Meneropong Sepuluh Pilar Demokrasi Indonesia, dalam
Budimansyah, D dan Syaifullah. (Ed). 2006. Pendidikan Nilai Moral dalam
Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. (Menyambut 70 tahun Prof. Drs. H.A. Kosasih
Djahiri). Bandung: Laboratorium PKN FPIPS UPI.
Dikdik Baehaqi Arif, Pendidikan Kewarganegaraan| 74
Sapriya, dan Winataputra, U S. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Model Pengembangan
Materi dan Pembelajaran. Bandung: Laboratorium PKN FPIPS UPI.
Soemantri, S. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni.
Suradinata, E. 2001. Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan
NKRI. Jakarta: Suara Bebas
Surbakti, R. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo.
Thaib, D, Hamidi, J dan Huda, N. 2006. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Rajawali
Press.
Thompson, B. 1997. Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3,
London: Blackstone Press Ltd.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Yuda A R, H. 2010. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
komentar | | Read More...

Blogger news

About

Blogroll

 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. aji . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger